Hadist Shohih dan Hadits Hasan
Mustholahul Hadits
Semester II
Dosen Pembimbing :
Ust. Tubagus Hasan Bashri, Lc., S.S.I

Disusun Oleh:
Aniisa fitria
Rizkiyatul Imtiyaz
DARUS-SUNNAH INTERNATIONAL INSTITUTE FOR HADITH SCIENCES JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Hadits merupakan hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Sebagai salah satu sumber otoritas Islam kedua setelah Al-Qur’an, sejumlah
literatur hadits memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi sumber
hukum dan inspirasi agama. Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan, namun
karena pembukuan hadits baru dilakukan beberapa tahun setelah Nabi wafat,
ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan,
maka keabsahan hadits yang beredar dikalangan kaum muslimin diperdebatkan oleh
para ahli.
Hadits itu sendiri dari yang diterima (yakni yang shohih) dan yang
ditolak (yakni yang dhoif) itulah pembagian hadits secara garis besar. Tetapi
para ahli hadits membagi hadits yang ditinjau dari segi kualitas kepada tiga
bagian; hadits shohih, hasan, dan dhoif. Dalam makalah ini hanya akan dibahas
mengenai hadits shohih dan hadits hasan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadits Shahih
A.
Pengertian hadits shohih :
Shohih menurut bahasa berasal dari kata - يصِحُّ صَحَّ
bentuk dari isim fail yang berarti benar dan
tepat[1]. Kata الصحيح dalam ilmu shorof
mengikuti wazan فعيل yang bermakna فاعل dari kata الصحة[2]. Kata shohih (الصحيح) juga bisa diartikan
sehat, yakni antonim dari kata (السقيم) yang berarti orang yang
sakit. Adapun istilah shohih adalah majas dalam ilmu hadits[3]. Jadi
hadits shohih menurut bahasa adalah hadits yang sehat dan selamat dari cacat dan kejanggalan.
Sedangkan menurut istilah, para ahli hadits berbeda-beda pendapat
dalam memberikan definisi hadits shohih, diantaranya :
الحديث الصحيح هو الحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل
الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه ولا يكون شاذا و لا معللا.
“ hadits shahih adalah hadits yang bersambung
sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rowi lain yang
juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta
tidak mengandung cacat (illat)”.
هو
ما اتصل سنده بعدول الضابطين من غي شذوذ ولا علة.
“Hadits shohih adalah hadits yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhobith dan tidak ada
keganjalan dan illat”.
c)
Menurut muhadditsin[6] :
ما
نقله عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ.
“Hadits yang dinukil oleh rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak
janggal”.
d) Dalam kitab
taysir mustholah hadits :
ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن
مثله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة
hadits yang sanadnya bersambung, dinukil oleh rowi yang
adil, kuat hafalannya yang serupa dari awal sampai akhir sanad tidak ada syadz
dan tidak ber’illat.
Berdasarkan
dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa syarat – syarat hadits
shohih meliputi :
1)
Sanadnya bersambung “ اتصال السند ” : setiap rowi dalam
periwayatan hadits mendapatkan langsung dari gurunya (perawi sebelumnya) dari
awal sampai akhir sanad.
v Kriteria اتصال
السند:
a.
Tashrih[8] : Rowi menjelaskan cara ia
memperoleh hadits dengan menggunakan salah satu dari shighot sima’i ;
حدثني فلان، أخبرنا
فلان، أخبرني فلان، أنبأنا فلان، أنبأني فلان، سمعت فلان، قال لي فلان، قال لنا فلان حدثنا فلان
b.
Tanshish[9] :
Ketetapan imam kepada seorang rawi, seperti :
ان فلان سمع من فلان، أو رواية فلان عن فلان متصلة أو نحو
ذالك.
d.
Antara perawi dan gurunya sezaman,
e.
Rowi dalam mendapatkan hadits harus bertemu langsung dengan
gurunya.
2)
Adilnya perowi “عدالة
الرواة ” : semua rowinya bersifat adil yakni islam, baligh, berakal,
tidak fasiq dan berwibawa.
v Islam : karena periwayatan dari seorang kafir
tidak dapat diterima sebab ia dianggap tidak dapat dipercaya[11].
v Mukallaf / Baligh : karena periwayatan dari
anak yang belum dewasa menurut pendapat yang lebih shahih ialah tidak diterima,
sebab ia belum terjamin dari kedustaan. Demikian pula halnya periwayatan orang
gila.
v Selamat dari sebab – sebab yang menjadikan
seseorang fasik dan dari sebab –sebab yang dapat mencacatkan kepribadian
seseorang.
3)
Kuat hafalan “ضبط الرواة ”
: semua rowinya mempunyai hafalan yang kuat dan sempurna , baik dalam segi
hafalan ”الصدور” maupun tulisan ”كتاب”.
Ø ضبط الصدر : rowi harus seorang yang hafidz (kuat hafalannya) ,menancap apapun
yang ia hafal (berupa hadits) di ingatannya[12].
Ø ضبط الكتاب : rowi harus bisa menjaga apa yang ia tulis
(berupa hadits) dari perubahan dan penyelewengan, dengan artian perowi harus
bisa mempertanggungjawabkan apa yang ia tulis.
Dhabith adalah ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni [13]:
Ø Tidak pelupa
Ø Hafal terhadap apa yang didektekan kepada
muridnya bila ia memberikan hadits dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari
kelemahan bila ia meriwayatkan dari kitabnya.
Ø Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami
maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia
meriwayatkan menurut maknanya saja.
4)
Tidak ada syadz “عدم
الشذوذ” : yakni tidak ada syadz dalam hadits , adapun makna
syadz adalah periwayatan yang tsiqqoh berlawanan dengan hadits lain yang lebih
tsiqqoh darinya.
5)
Tidak ber’illat “عدم
العلة” : yakni tidak ada illat / cacat dalam hadits, adapun
adalah sesuatu yang samar yang dapat menodai keshohihan hadits, walaupun secara
dzohir terlihat baik.
B.
Syarat – Syarat Hadits Shohih :
Dari
penjelasan defisini diatas dapat disimpulkan bahwa syarat – syarat hadits shohih
ada 5 :
1)
Sanadnya bersambung,
2)
Rowi harus adil,
3)
Rawi harus dhobith,
4)
Haditsnya tidak berillat,
5)
Dan tidak janggal (syadz).
Apabila salah satu dari kelima syarat diatas tidak terpenuhi maka
suatu hadits tidak bisa dihukumi shohih.
Ibnu’as
–Shalah (911h) berpendapat, bahwa syarat hadits shahih seperti tersebut di atas,
telah disepakati oleh para muhadditsin. Hanya saja, kalaupun mereka berselisih
tentang keshashihan suatu hadits, bukanlah karena syarat – syarat itu sendiri,
melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya
sifat – sifatnya tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan
sebagian sifat – sifat tersebut[14].
Misalnya Abi az-Zinad
mensyaratkan bagi hadits shahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan
keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadits.
Ibnu As-Sam’any (489 h) mengatakan, bahwa hadits shashih
itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (adil dan dlabith)
saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa
yang telah diriwayatkannya, banyak sekali hadits yang telah didengarnya dan
kuat ingatannya.
Abu hanifah (148 h) mensyaratkan,
perawinya harus paham benar. Ibnu hajar (852 h) tidak
sependapat tentang ketentuan-ketentuan hadits shohih sebagaimana yang telah
diutarakan oleh para ulama’ tersebut. sebab syarat – syarat sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abiz-Zinad itu sudah tercakup dalam persyaratan dlabith,
sedang syarat – syarat yang dikemukakan oleh ibu As-Sam’any sudah termasuk
dalam syarat “ tidak ber-illat “.
Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadits itu tidak
ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan
ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya. Adapun syarat yang dikemukakan
oleh Abu Hanifah, bahwa perawinya harus paham, itu hanya diperlukan kala ada
perlawanan dengan perawi lain atau di
kala menyendiri dengan periwayatan umum.
Menurut jumhurul muhadditsin, bahwa suatu hadits dinilai shahih,
bukanlah karena tergantung pada babyaknya sanad. Suatu hadits dinilai shahih
cukup kiranya kalau sanadnya atau matannya shahih, kendatipun rawinya itu hanya
seorang saja pada tiap – tiap thabaqat.
Dalam pada itu, sebagian ahli hadits : Abi ‘Ali Al – jubbaiy (669 h) dan
Abu Bakar Ibnu Al – Arabi (1148 m) mensyaratkan untuk hadits shahih itu
sekurang – kurangnya diriwayatkan oleh dua orang dalam tiap – tiap thabaqat.
C.
Contoh hadits shohih[15] :
ما
أخرجه البخاري في صحيحه قال : حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب
عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ فىي
المغريب بالطور.
Hadits
ini shohih karena :
Ø Sanadnya
bersambung : karena setiap rowi dalam periwayatannya mendengar langung dari
gurunya. Terbukti karna ada lafadz “عن”
disetiap rowinya yang menandakan bahwa periwayatannya bersambung sebab
memdengar langsung dari gurunya.
Ø Karna rowi –
rowi nya adil dan dhobith , berikut adalah sifat – sifat yang diberikan oleh
ulama’ jarh wa ta’dil kepada mereka :
·
Abdullah bin yusuf (40 h) : ثقة
متقن
·
Malik bin anas (179 h) : إمام
حافظ
·
Ibnu syihab az-zuhri (124 h) :
فقيه حافظ متفق على جلالته واتقانه
·
Muhammad bin jabir (79 h) : ثقة
·
Jubair bin muth’im (56 h) : صحابي
Ø Tidak ada
kejanggalan (syadz) : karena tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat
darinya.
Ø Dan juga hadits
ini tidak ber’illat.
D.
Pembagian Hadits Shohih
Hadits
shohih mempunyai dua macam ;
v Shohih
lidzaatihi [16]:
hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rowi
yang adil dan sempurna ingatannya/hafalannya, serupa dari awal sampai akhir
sanad, tidak syadz dan tidak ber’illat (seperti yang telah disebutkan)
اعلم: أن ما عرفناه أولًا هو الصحيح لذاته لكونه اشتمل من صفات
القبول
Hadits shohih lidzatihi
adalah hadits yang mengandung sifat- sifat diterimanya suatu hadits[17].
v Shohih
lighairihi[18]
Ø Adalah hadits
hasan yang naik tingkatannya menjadi hadits shohih sebab adanya periwayatan
lain yang melengkapi.
Ø Adalah hadits
yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rowi yang adil, dhobith namun tidak
sempurna, dari awal sampai akhir sanad .
Ø وأما الصحيح لغيره
فهو ما صحح لأمر أجنبي عنه إذ لم يشتمل عن صفات القبول كالحسن
Hadits shohih lighairihi adalah hadits yang tidak
mengandung sifat – sifat diterimanya suatu hadits seperti hadits hasan. karena
dibantu oleh periwayatan yang lain sehingga naik tingkatannya, yang semula
hadits hasan lalu naik tingkatan menjadi hadits shohih[19].
Contoh hadits shohih
lighairihi :
حديث
محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هرية رضي الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه
وسلم قال : لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل الصلاة .
Adapun muhammad bin amr dikenal jujur akan tetapi beliau tidak
mutqin (teliti), maka haditsnya dihukumi hasan lidzatihi. Namun hadits ini
dibantu oleh periwayatan lain dari a’roj dari abi hurairoh,maka hadits tersebut
naik tingkatan menjadi hadits shohih lighairihi[20].
E.
Istilah – Istilah :
Ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini :
a.
Menurut imam ahmad dan ishaq bin rohiyah (202 h), ashohhul asaanid adalah dari jalur az-Zuhri (124 h) dari salim dari ayahnya.
b.
Tetapi menurut imam bukhori (256 h) adalah malik dari nafi’ (93 h) dari ibnu umar (72 h).
c.
Menurut imam yahya bin mu’ayyin : ibrohim an-Nakho’i dari alqomah
bin qois dari abdullah bin mas’ud.
d.
Dan menurut imam ali bin al-Madini ashohhu asanid adalah muhammad
bin siiriin dari abidah bin amr as-Sulaimani dari ali bin abi tholib.
Ketika muhadditsin berkata “صحيح
الاسناد” atau “إسناده صحيح”
maknanya adalah bahwa sebuah hadits telah memenuhi 3 syarat awal dari syarat –
syarat keshohihan hadits.
Maksud dari istilah “هذا
حديث صحيح” ialah ketika syarat – syarat yang lima telah terpenuhi dalam
suatu hadits. Dan tidak hanya salah satunya saja dari kelima syarat tersebut.
Maksud dari istilah “هذا
حديث غير صحيح” ialah ketika semua atau sebagian
dari syarat – syarat yang lima tidak terpenuhi dalam suatu hadits.
Maksud dari istilah tersebut adalah bahwa
suatu hadits telah disepakati keshohihannya oleh imam Bukhori dan imam Muslim.
v الثابت
والمجود والصالح : hadits yang mengandung shohih dan hasan.
v المشبه : bermakna hasan.
v Berdasarkan
penjelasan surat dari abu dawud kepada penduduk makkah, secara garis besar
mengklasifikasikan hadits menjadi lima bagian :[26]
a.
صحيح
Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya,
sanadnya bersambung, tidak berillat dan tidak pula janggal. Hadits shohih ini
disebut hadits lidzatihi, karena tingkat keshahihannya tanpa dukungan hadits
lain yang menguatkannya.
b.
ما
يشبه (yang
menyerupai shohih)
Yang dimaksud oleh abu dawud adalah hadits shahih li gairihi,
karena hadits tersebut menyerupai shahih li dzatihi, tetapi martabatnya dibawah
shahih li dzatihi.
c.
يقاربه
(yang mendekati shahih)
Menurut muhaddisin, istilah yang digunakan oleh Abu Dawud(275 h) itu
adalah hadits hasan lidzatihi, karena hadits tersebut bisa naik kedudukannya
menjadi shahih lighairihi jika didukung
dengan hadits lain.
d.
وهن
شديد
Menurut muhaddisin istilah ini
berarti hadits dhoif, namun menurut
Abu Dawud memberikan penjelasan letak kedhoifannya , beliau juga bependapat
bahwa hadits dhoif itu lebih kuat
daripada pendapat para ulama’. Pencantuman hadits dhoif disertai keterangan
kedhaifannya dibolehkan, maksudnya bukan untuk dijadikan hujjah, tetapi untuk
menerangkan bahwa hadits tersebut adalah dhaif.
e.
صالح
Hadits shalih menurut istilah muhaddisin mencakup hadits shahih, hasan
dan dhaif. Dua hadits pertama dijadikan hujjah dan yang terakhir hanya
dijadikan sebagai i’tibar saja.
F.
Tingkatan – tingkatan shohih[27] :
v Tingkatan yang paling tinggi adalah hadits
yang diriwayatkan oleh ashohul asanid, seperti : malik dari nafi’ dari ibnu
umar.
v Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang tingkatannya lebih rendah dari perawi ashohul asanid, seperti : riwayat
hammad bin salamah dari tsabith dari anas.
v periwayatan suhail bin abu shalih dari ayahnya
dari abu hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi
dapat dibagi menjadi 7 tingkatan dari tingkatan yang tertinggi sampai dengan
tingkatan yang terendah, yaitu sebagai berikut :
Ø Muttafaq
alaihi, yang disepakati keshohihannya oleh imam Bukhori
dan imam Muslim (261 h). (tingkatan yang paling tinggi)
Ø Yang diriwayatkan oleh imam Bukhori saja.
Ø Yang diriwayatkan oleh imam Muslim saja.
Ø Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain
tetapi telah memenuhi persyaratan imam Bukhori dan imam Muslim.
Ø Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang
memenuhi persyaratan imam Bukhori.
Ø Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang
memenuhi persyaratan imam Muslim.
Ø Hadits yang diriwayatkan oleh ulama’ hadits,
tetapi tidak berdasarkan dengan persyaratan kedua imam tersebut. seperti ibnu
Khuzaimah, ibnu Hibban dan Al-Hakim.
G.
Hukum hadits shohih :
Wajib mengamalkan menurut kesepakatan ulama’
ahli hadits, diterima oleh kalangan ulama’ ushul dan ulama’ fiqih, dan bisa
dijadikan sebagai hujjah hukum islam[28].
Hukum hadits shohih lighairihi adalah shohih sebagaimana
shohih lidzatihi meski sanad hadits nya tidak shohih[29].
H.
Yang pertama kali mengumpulkan hadits shohih,
Adapun orang yang pertama kali mengumpulkan hadits shohih
adalah imam bukhori ,kemudian imam muslim, keduanya adalah kitab yang paling
shohih setelah al-qur’an. Dan
umat telah sepakat dan menerima akan keshohihan kedua kitab tersebut.
Ø Yang paling
shohih diantara keduanya adalah kitab imam bukhori, dan juga paling banyaknya
faidah. Hal ini dikarenakan hadits – hadits riwayat imam bukhori lebih bersambung
sanadnya dan lebih tsiqqoh rowinya, dan karena terdapat istinbat hukum – hukum
fiqh yang tidak ada dalam kitab shohih muslim. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
hadits – hadits shohih muslim lebih shohih karna terdapat beberapa hadits yang
lebih kuat dari hadits – hadits shohih bukhori. Namun yang benar adalah
pendapat yang pertama.
Apakah
dalam kitab mereka memuat semua hadits shohih ?
Imam bukhori dan imam muslim tidak memuat / mengambil semua hadits
shohih ke dalam kitabnya, hal ini berdasarkan perkataan imam bukhori: “ما
أدخلت في كتابي الجامع الا ما
صح وتركت من الصحاح لحال الطول “ dan imam muslim juga berkata “ ليس كل شيء عندي صحيح وضعته ههنا انما وضعت ما أجمعوا عليه ”
Jumlah
hadits shohih imam bukhori dan imam muslim :
Ø Imam bukhori :
7275 hadits dengan pengulangannya,
: 4000 hadits tanpa pengulangan.
Ø Imam muslim :
12000hadits dengan pengulangannya,
: 4000 tanpa pengulangan.
Dalam kitab shohihnya imam muslim mempunyai
kekhususan tersendiri , yakni mengumpulkan metode – metode hadits dalam satu
tempat dengan sanad – sanadnya, lafadz lafadz pun berbeda beda sehingga
memudahkan para pembaca. Berbeda dengan imam bukhori yang mengualifikasikan hadits nya
dalam beberapa bab karena beliau lebih memperhatikan hukum sayariat yang
terkandung dalam hadits[30].
Syaikh islam berkata : oleh karena itu banyak
ulama – ulama yang menghimpun hukum – hukum syariat mereka berpegang pada kitab
imam muslim dari sisi matan[31].
2.2 Hadits Hasan
A.
Pengertian Hadits Hasan
Secara bahasa hasan adalah sifat
musyabahah dari "al husnu" bermakna indah[32].
Para Ulama Muhadditsin berbeda pendapat ketika harus mengemukakan pengertian
Hadits Hasan. Dan disini kami akan menyampaikan beberapa pengertian yang
dikemukakan oleh para Ulama :
a.
Pengertian Hadits Hasan menurut Imam At-Tirmudzy (13 Rajab tahun
279 H):
كل حديث يروى , لا
يكون في إسناده من يتّهم بالكذب , ولا يكون الحديث شاذا , و يروى من غير وجه نحو
ذالك,فهو عندنا حديث حسن.
Setiap hadits
yang diriwayatkan , dimana sanadnya tidak tertuduh , haditsnya tidak menyimpang
dan diriwayatkan dari arah mana saja.
b.
Pengertian menurut Imam Khattabi
هو
ما عرف مخرجه , و اشتهر رجاله ,و عليه مدارا أكثر الحديث , وهو الذى يقبله أكثر
العلماء , و يستعمله عامة الفقهاء.
Hadits yang di ketahui sumbernya, perawinya terkenal, dan adanya
poros hadist yang banyak yang diterima oleh banyak ulama dan ahli fiqih banyak
yang menggunakannnya
c. Pengertian menurut Imam Ibnu Hajar (18 Dzulhijjah tahun 852 H):
و
خبر الأحد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاد.
Khobar
Ahad yang dinuqil dari perawi yang ‘adil,
dabt , bersambung sanadnya , tidak ada cacat dan tidak menyimpang.
d. Pengertian Imam Mukhtar
هو
ما اتصل سنده بنقل العدل الذى خفّ ضبطه على مثله إلى منتهاه من غير شذوذ و لا علة.
Hadits yang bersambung
sanadnya, dinuqil dari perawi yang ‘adil
, kedhobitannya tidak terlalu sempurna dari awal sampai akhir sanad, tidak ada
penyimpangan dan tidak ada cacat juga.[33]
Jadi menurut kesimpulan
dari beberapa definisi yang diuraikan oleh beberapa Muhaddits. Bahwasanya hadits Hasan itu hampir sama dengan hadits Shohih, hanya saja tingkat kedhabitan
perawi dalam hadits Hasan lebih rendah daripada perawi di hadits Shohih.
B.
Sejarah dan Hukum Hadits
Hasan.
Menurut Imam
Taqiyuddin bin Taimiyah (20 Dzul Hijjah th. 728 H) bahwa Orang yang pertama
kali mengetahui pembagian Hadits menjadi Shohih , Hasan dan Dhoif ialah Abu ‘isa At Tirmidzy. Sebelum beliau , belum ada yang mengetahui
hal tersebut.[34]
Adapun Hukum Hadits Hasan sama seperti halnya dengan
hadis Shohih dalam hal pengambilan Hujjah. Dan tinggi rendahnya hadits Hasan
itu terletak pada kedhobitan dan keadilan para perawinya. Hadits hasan yang
tinggi martabatnya ialah yang bersanad Ashohul
– asanid. [35]
C.
Syarat – syarat hadits Hasan
• Jalur-jalurnya terkenal ( sanadnya bersambung),
• Kualitasnya tidak mencapai derajat hadist shahih.[36]
D.
Klasifikasi Hadits hasan
Sebagaimana
Hadits Shohih , hadits Hasan pun terbagi menjadi 2 macam yaitu Hasan lidzatihi
dan Hasan Lighairihi.
a. Hasan Lidzatihi
:
ما
رواه عدل خفّ ضبطه عن مثله إلى منتهاه و
لم يكن شاذا و لا معلا.
Hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang ‘Adil tapi kurang kedhobitannya dari awal
sampai akhir sanadnya. Tapi tidak ada penyimpangan atau kecacatan pada hadits
tersebut.
Atau secara garis besar : Hadist yang bersambung sanadnya , diriwayatkan
oleh rawi yang adil dan kuat hafalannya, namun tidak se-masyhur hadits shohih
dan tidak mencapai kualitas hadits shohih.[37]
Contoh hadits Hasan lidzatihi:
حديث
محمّد بن عمرو عن أبي سلامة عن أبي هريرة
أنّ رسول
اللّه صلى اللّه عليه و سلم قال : لو لا أن أشق على أمتى لأمرتهم بالسواك عند كلّ
الصلاة[38]
Dalam hadist ini Muhammad bin Amr terkenal dengan sifat jujur,
namun beliau tidak memiliki sifat Dhobt Tam karena beliau jelek dalam hal
menghafal.[39]
Hadits ‘Amr bin Abi Salamah ini merupakan salah satu contoh hadits hasan
lidzatihi, hadits ini bisa naik tingkatan menjadi hasan Shohih lighairihi jika
di bantu dengan hadits hasan lidzatihi lainnya. [40]
b. Hasan Lighairihi
:
فهو
الحديث الضعيف الّذى تقوى بمتابعة أو مثله.
Hadits Dhoif yang dikuatkan dengan riwayat
yang lain atau semisalnya sehinga bisa naik derajatnya menjadi hadis hasan
lighairihi.
Atau secara garis besar : adalah hadist
yang dhoif sebab adanya perawi yang
fasiq atau berdusta. Adapun kedudukan hasan lighoiri lebih rendah daripada
hasan lidzatihi .[41]
Contoh Hadist Hasan Lighairihi :
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ
تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟"
قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي(
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur
Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari
ayahnya bahwasanya seorang perempuan dari bani Fazarah menikah dengan mahar
sepasang sandal…”
Al-Turmudzi mengomentari bahwa hadits itu terdapat riwayat-riwayat
lain, yaitu dari Umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad. Dalam hal ini
Al-Turmudzi menilai hadits tersebut hasan, karena meskipun ‘Asim dalam sanad
hadits yang diriwayatkannya itu dhaif karena jelek hafalannya, hadits ini
didukung oleh adanya riwayat-riwayat lain[42]
Perlu diketahui bahwa
Hadits Hasan bisa naik tingkatan derajat martabatnya ke hadits Shohih apabila
ada periwayatan Hadits lain yang bisa membantunya. Karena perawi dalam hadits
Hasan itu kurang sempurna kedhobitannya dan ke’adilannya. Tapi kekurangan itu bisa ditutupi jika ada
periwayatan hadits yang bisa membantunya, walau hanya dengan satu periwayatan
saja.[43]
Ada tiga syarat dimana hadist dhoif dapat naik
tingkatannya menjadi hadist hasan lighairihi
:
a.
Rowi-nya bukan orang yang mughoffal (pelupa) sehingga banyak kesalahan saat ia
meriwayatkan hadist,
b.
Rowi tidak fasiq,
c.
Hadist nya dibantu oleh periwayatan yang lain.[44]
E.
Martabat Hadits Hasan
Seperti halnya hadits
Shohih , Hadits Hasan juga mempunyai tingkatan atau Martabat. Dan ada dua
tingkatan pada Hadits Hasan , antara lain :
a.
Yang paling tinggi tingkatannya
Hadits yang mempunyai
jalur sanad dari :
بهز
بن حكيم عن أبيه عن جدّه , و عمرو بن شعيب عن أيسه عن جدّه , و ابن إسحاق بن
التيمي.
Ada yang menyebutkan , bahwa hadits yang
datang dari jalur sanad dari para perawi yang telah disebut di atas termasuk
pada Hadist Shohih. Namun , tingkatan Shohih yang paling rendah.
b. Tingkatan yang dimana Ulama masih berbeda pendapat dalam menentukan , apa
termasuk hadits hasan atau hadits Dho’if.
Seperti Hadits yang diriwaytkan dari : Al
Haris bin ‘Abdillah , ‘Ashim bin Dhomroh , Hajjaj bin Arthoh dan lainnya.
F.
Istilah – Istilah dalam
permasalahan Hadits
a. Makna perkataan Imam Tirmidzi dan lainnya “ حديث
حسن صحيح “
Jika dilihat sepintas , ibarat ini terlihat
Musykil. Karena seperti yang diketahui bahwa Hasan derajatnya labih rendah dari
Shohih. Lalu bagaimana dengan ibarat itu yang menggabungkan keduanya dan
menyamakan derajat keduanya ?
Para Ulama pun menjawab tentang masalah ini
dengan berbagai jawaban. Tapi jawaban yang paling bagus adalah jawababn yang
diberikan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar. Dimana beliau menyimpulkan :
1. Jika ada sebuah hadits yang mempunya 2 sanad atau lebih , maka makna nya
menjadi “ حسن باعتبار إسناد ,
صحيح باعتبار أخر “
Hasan menurut sebagian sanad , dan Shohih
menurut sebagian sanad lainnya.
2. Jika ada sebuah hadits yang hanya mempunyai satu sanad, maka maknanya
menjadi
“ حسن
عند قوم , صحيح عند قوم أخرين "
Hasan menurut pendapat satu kaum , shohih menurut qaum lainnya.
G. Kitab-kitab yang terdapat hadits-hadits Hasan :
Para Ulama Muhaddits memang tidak memisahkan secara khusus akan
hadits-hadits hasan. Tetapi disini akan menyebutkan beberapa kita yang
didalamnya banyak terdapat hadits Hasan,diantaranya adalah :
1. Sunan At-Tirmidzy
Kitab ini dipopulerkan oleh Imam Tirmidzi
sendiri. Dalam kitab ini banyak disebutkan akan hadits – hadits Hasan yang
lain.
2. Sunan Abi Daud
Dan dalam kitab Sunan Abu Daud ini , jika beliau tidak menjelaskan
apakah hadits itu Shohih atau Dho’if maka hadits itu dinamakan hadits Hasan
menurutnya.
3. Sunan Darul Qutni
Dan imam Darul Qutni sudah banyak
mengangkat hadits- hadits Hasan dari kitab ini.
BAB III
KESIMPULAN
- Hadits shahih lebih sempurna dari pada hadits hasan, karna hadits shahih para perwinya adil,sanadnya bersambung sampei Rosulullah,sempurna hafalannya, kuat ingatannya, tidak janggal dan tidak ada cacat. Sedangkan hadits hasan, bedanya sedikit dengan shahih yaitu: lemah hafalannya tapi yang lain sama.
- Meskipun hadits hasan kududukannya dibawah hadits shahih tapi para ulama’ berhujjah bahwa hadits hasan boleh dijadikan sebagai sandaran hukum islam, dalam moral dan aqidah.
DAFTAR PUSAKA
1)
Moh, Akib Muslim, Ilmu Mushtholah Hadits Kajian Historis
Metodelogis, (kediri: STAIN kediri press, 2010)
2)
Sajidur Rohman As-Syidqi, Al-Mu’jam Al-Hadts Fi Ulum Al-Hadits, (lebanon:
darul kutub al-alamiyah,1971)
3)
Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain).
4)
Muhammad ma’sum zaein, ulumul hadits dan mustholah hadits ,
(jombang: darul-hikmah, 2008)
5)
Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta,
Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008)
6)
Fathur Rahman, ikhtisar mustholahul hadits,(Bandung, PT
Alma’arif)
7)
Abu hasan musthofa bin ismail as-sulaimani,Jawahirus
sulaimaniyah,(darul kayan),
8) Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min
fununil mustholah hadits, Darul kutub Ilmiyah
9)
Alawi Al-Maliki,Muhammad, 2009, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli
Al-Haditsi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
10)
Abdurrahman bin abu bakar, Jalaluddin
assuyuti, tadriburrawi fi syarhi taqrib annawawi (daru thoibah:2)
[1]
Moh, Akib Muslim, Ilmu Mushtholah Hadits Kajian Historis Metodelogis,
(kediri: STAIN kediri press, 2010),hal 130.
[2]
Sajidur Rohman As-Syidqi, Al-Mu’jam Al-Hadts Fi Ulum Al-Hadits, (lebanon:
darul kutub al-alamiyah,1971),hal 74.
[3]
Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 34
[4]
Muhammad ma’sum zaein, ulumul hadits dan mustholah hadits , (jombang:
darul-hikmah, 2008), hal 112.
[5]
Ibid ...,hal 112.
[6]
Fatchur rahman, ikhtisar mustholahul hadits, (bandung, PT Almaarif,1974), hlm.
117.
[7]
Mahmud thohan, Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 34
[8]
Abu hasan musthofa bin ismail as-sulaimani,Jawahirus sulaimaniyah,(darul
kayan),hal; 36
[9]
Ibid ...,hal 36
[10]
Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta,
Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 22
[11]
Fathur Rahman, ikhtisar mustholahul hadits,(Bandung, PT Alma’arif), hal;
120
[12]
Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta,
Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 20
[13]
Fathur Rahman, ikhtisar mustholahul hadits,(Bandung, PT Alma’arif), hal;
122
[14]
Fathur Rahman, ikhtisar mustholahul hadits,(Bandung, PT Alma’arif), hal;
118
[15]
Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 35
[16]
Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta,
Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 20
[17] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin
Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits, Darul kutub Ilmiyahhal; 80
[18]
Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta,
Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 26
[19]
Qowaidut Tahdits hal; 80
[20] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad
Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits,
Darul kutub Ilmiyahhal: 80
[21]
Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta,
Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 27
[22]
Ibid ...,hal; 28
[23]
Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 36
[24]
Ibid ...,hal; 44
[25]
Hafidz Hasan Almasudi, minhatul mughits, (Surabaya, Andalas), hal; 15
[26]
Suyardi, studi kitab hadits, hal 96-97
[27]
Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal;43
[28]
Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 36
[29] Muhammad
Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil
mustholah hadits, Darul kutub
Ilmiyahhal; 82
[30] Abdurrahman bin abu bakar, Jalaluddin
assuyuti, tadriburrawi fi syarhi taqrib annawawi (daru thoibah:2) hal : 56
[31] Abdurrahman bin abu bakar, Jalaluddin
assuyuti, tadriburrawi fi syarhi taqrib annawawi (daru thoibah:2) hal :56
[32]
Syauqi dhaif, mu’jam al-washith,(maktabah shurouq ad-Dauliyyah),hal;187
[33]
Mahmud Thahan,Taysir Mustholah Hadits,Al Haromain, hal.45
[34]
Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id
bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits, Darul kutub Ilmiyah,hal 54.
[35] Drs.Fathurrahman,Ikhtisar Mustholah
Hadits
[36]
Abu hasan musthofa bin ismail
as-sulaimani,Jawahirus sulaimaniyah,(darul kayan),hal; 70
[37] Hasan muhammad al – masyath,taqriraat assaniyah,(darul
kutub islamiyah),hal;11
[38]
Muhammad bin yazid Al qazwini , Sunan
Ibn Majah.
[39]
Hasan muhammad al – masyath,taqriraat
assaniyah,(darul kutub islamiyah),hal;11
[40] DR. Syihabuddin , Mabadi ulumul hadits
, hal; 36.
[41]
Mahmud thohan, Taysir mustholah hadist,(al – haromain), hal;52 – 53
[42]
Alawi Al-Maliki,Muhammad, 2009, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi
Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal : 63.
[43]
Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min
fununil mustholah hadits,
[44]
Hafidz hasan al – mas’udi ,Minhatul
mughist,(andalus),hal;14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar