Jumat, 22 April 2016

hadits shohih dan hadits hasan - syarah taysir mushtholah hadits


Hadist Shohih dan Hadits Hasan 
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Mustholahul Hadits
Semester II
Dosen Pembimbing :
Ust. Tubagus Hasan Bashri, Lc., S.S.I


Disusun Oleh:
Aniisa fitria
Rizkiyatul Imtiyaz

DARUS-SUNNAH INTERNATIONAL INSTITUTE FOR HADITH SCIENCES JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang

Hadits merupakan hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai salah satu sumber otoritas Islam kedua setelah Al-Qur’an, sejumlah literatur hadits memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi sumber hukum dan inspirasi agama. Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan, namun karena pembukuan hadits baru dilakukan beberapa tahun setelah Nabi wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan, maka keabsahan hadits yang beredar dikalangan kaum muslimin diperdebatkan oleh para ahli.
Hadits itu sendiri dari yang diterima (yakni yang shohih) dan yang ditolak (yakni yang dhoif) itulah pembagian hadits secara garis besar. Tetapi para ahli hadits membagi hadits yang ditinjau dari segi kualitas kepada tiga bagian; hadits shohih, hasan, dan dhoif. Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai hadits shohih dan hadits hasan.


















BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Hadits Shahih
A.    Pengertian hadits shohih :
Shohih menurut bahasa berasal dari kata   - يصِحُّ صَحَّ bentuk dari isim fail yang berarti benar dan tepat[1]. Kata الصحيح dalam ilmu shorof mengikuti wazan فعيل yang bermakna فاعل dari kata الصحة[2]. Kata shohih (الصحيح) juga bisa diartikan sehat, yakni antonim dari kata (السقيم) yang berarti orang yang sakit. Adapun istilah shohih adalah majas dalam ilmu hadits[3]. Jadi hadits shohih menurut bahasa adalah hadits yang sehat dan selamat dari cacat dan kejanggalan.
Sedangkan menurut istilah, para ahli hadits berbeda-beda pendapat dalam memberikan definisi hadits shohih, diantaranya :
a)      Menurut ibnu shalah (643 h)[4] :
الحديث الصحيح هو الحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه ولا يكون شاذا و لا معللا.
“ hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rowi lain yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat)”.
b)      Menurut imam as-suyuti(911h)[5] :
هو ما اتصل سنده بعدول الضابطين من غي شذوذ ولا علة.
“Hadits shohih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhobith dan tidak ada keganjalan dan illat”.
c)      Menurut muhadditsin[6] :
ما نقله عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ.
“Hadits yang dinukil oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal”.
d)     Dalam kitab taysir mustholah hadits :
ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة             
hadits yang sanadnya bersambung, dinukil oleh rowi yang adil, kuat hafalannya yang serupa dari awal sampai akhir sanad tidak ada syadz dan tidak ber’illat.
Penjelasan dari definisi hadits shohih [7]:
Berdasarkan dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa syarat – syarat hadits shohih meliputi :
1)      Sanadnya bersambung “ اتصال السند ” : setiap rowi dalam periwayatan hadits mendapatkan langsung dari gurunya (perawi sebelumnya) dari awal sampai akhir sanad.
v  Kriteria  اتصال السند:
a.       Tashrih[8] : Rowi  menjelaskan cara ia memperoleh hadits dengan menggunakan salah satu dari shighot sima’i ;
حدثني فلان، أخبرنا فلان، أخبرني فلان، أنبأنا فلان، أنبأني فلان، سمعت فلان، قال لي فلان، قال لنا فلان حدثنا فلان
b.      Tanshish[9] : Ketetapan imam kepada seorang rawi, seperti :
ان فلان سمع من فلان، أو رواية فلان عن فلان متصلة أو نحو ذالك.
c.       Tidak ada tadlis[10],
d.      Antara perawi dan gurunya sezaman,
e.       Rowi dalam mendapatkan hadits harus bertemu langsung dengan gurunya.
2)      Adilnya perowi “عدالة الرواة ” : semua rowinya bersifat adil yakni islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan berwibawa.
v  Islam : karena periwayatan dari seorang kafir tidak dapat diterima sebab ia dianggap tidak dapat dipercaya[11].
v  Mukallaf / Baligh : karena periwayatan dari anak yang belum dewasa menurut pendapat yang lebih shahih ialah tidak diterima, sebab ia belum terjamin dari kedustaan. Demikian pula halnya periwayatan orang gila.
v  Selamat dari sebab – sebab yang menjadikan seseorang fasik dan dari sebab –sebab yang dapat mencacatkan kepribadian seseorang.
3)      Kuat hafalan “ضبط الرواة ” : semua rowinya mempunyai hafalan yang kuat dan sempurna , baik dalam segi hafalan ”الصدور” maupun tulisan ”كتاب”.
Ø  ضبط الصدر  : rowi harus seorang yang hafidz (kuat hafalannya) ,menancap apapun yang ia hafal (berupa hadits) di ingatannya[12].
Ø  ضبط الكتاب  : rowi harus bisa menjaga apa yang ia tulis (berupa hadits) dari perubahan dan penyelewengan, dengan artian perowi harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang ia tulis.
Dhabith adalah ibarat terkumpulnya beberapa hal, yakni [13]:
Ø  Tidak pelupa
Ø  Hafal terhadap apa yang didektekan kepada muridnya bila ia memberikan hadits dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan bila ia meriwayatkan dari kitabnya.
Ø  Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud, bila ia meriwayatkan menurut maknanya saja.
4)      Tidak ada syadz “عدم الشذوذ” : yakni tidak ada syadz dalam hadits , adapun makna syadz adalah periwayatan yang tsiqqoh berlawanan dengan hadits lain yang lebih tsiqqoh darinya.
5)      Tidak ber’illat “عدم العلة” : yakni tidak ada illat / cacat dalam hadits, adapun adalah sesuatu yang samar yang dapat menodai keshohihan hadits, walaupun secara dzohir terlihat baik.

B.     Syarat – Syarat Hadits Shohih :
Dari penjelasan defisini diatas dapat disimpulkan bahwa syarat – syarat hadits shohih ada 5  :
1)      Sanadnya bersambung,
2)      Rowi harus adil,
3)      Rawi harus dhobith,
4)      Haditsnya tidak berillat,
5)      Dan tidak janggal (syadz).
Apabila salah satu dari kelima syarat diatas tidak terpenuhi maka suatu hadits tidak bisa dihukumi shohih.
                      Ibnu’as –Shalah (911h) berpendapat, bahwa syarat hadits shahih seperti tersebut di atas, telah disepakati oleh para muhadditsin. Hanya saja, kalaupun mereka berselisih tentang keshashihan suatu hadits, bukanlah karena syarat – syarat itu sendiri, melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat – sifatnya tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian sifat – sifat tersebut[14].
Misalnya Abi az-Zinad mensyaratkan bagi hadits shahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan menyampaikan hadits.
Ibnu As-Sam’any (489 h) mengatakan, bahwa hadits shashih itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (adil dan dlabith) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang telah diriwayatkannya, banyak sekali hadits yang telah didengarnya dan kuat ingatannya.
Abu hanifah (148 h) mensyaratkan, perawinya harus paham benar. Ibnu hajar (852 h) tidak sependapat tentang ketentuan-ketentuan hadits shohih sebagaimana yang telah diutarakan oleh para ulama’ tersebut. sebab syarat – syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Abiz-Zinad itu sudah tercakup dalam persyaratan dlabith, sedang syarat – syarat yang dikemukakan oleh ibu As-Sam’any sudah termasuk dalam syarat “ tidak ber-illat “.
Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadits itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya. Adapun syarat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, bahwa perawinya harus paham, itu hanya diperlukan kala ada perlawanan dengan perawi lain atau di  kala menyendiri dengan periwayatan umum.
Menurut jumhurul muhadditsin, bahwa suatu hadits dinilai shahih, bukanlah karena tergantung pada babyaknya sanad. Suatu hadits dinilai shahih cukup kiranya kalau sanadnya atau matannya shahih, kendatipun rawinya itu hanya seorang saja pada tiap – tiap thabaqat.
Dalam pada itu, sebagian ahli hadits : Abi ‘Ali Al – jubbaiy (669 h) dan Abu Bakar Ibnu Al – Arabi (1148 m) mensyaratkan untuk hadits shahih itu sekurang – kurangnya diriwayatkan oleh dua orang dalam tiap – tiap thabaqat.
C.     Contoh hadits shohih[15] :
ما أخرجه البخاري في صحيحه قال : حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ فىي المغريب بالطور.
Hadits ini shohih karena :
Ø  Sanadnya bersambung : karena setiap rowi dalam periwayatannya mendengar langung dari gurunya. Terbukti karna ada lafadz “عن” disetiap rowinya yang menandakan bahwa periwayatannya bersambung sebab memdengar langsung dari gurunya.
Ø  Karna rowi – rowi nya adil dan dhobith , berikut adalah sifat – sifat yang diberikan oleh ulama’ jarh wa ta’dil kepada mereka :
·         Abdullah bin yusuf (40 h) : ثقة متقن
·         Malik bin anas (179 h) : إمام حافظ
·         Ibnu syihab az-zuhri (124 h) : فقيه حافظ متفق على جلالته واتقانه
·         Muhammad bin jabir (79 h) : ثقة
·         Jubair bin muth’im (56 h) : صحابي  
Ø  Tidak ada kejanggalan (syadz) : karena tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat darinya.
Ø  Dan juga hadits ini tidak ber’illat.

D.    Pembagian Hadits Shohih
Hadits shohih mempunyai dua macam ;
v  Shohih lidzaatihi [16]:
hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rowi yang adil dan sempurna ingatannya/hafalannya, serupa dari awal sampai akhir sanad, tidak syadz dan tidak ber’illat (seperti yang telah disebutkan)
اعلم: أن ما عرفناه أولًا هو الصحيح لذاته لكونه اشتمل من صفات القبول
Hadits shohih lidzatihi adalah hadits yang mengandung sifat- sifat diterimanya suatu hadits[17].

v  Shohih lighairihi[18]
Ø  Adalah hadits hasan yang naik tingkatannya menjadi hadits shohih sebab adanya periwayatan lain yang melengkapi.
Ø  Adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rowi yang adil, dhobith namun tidak sempurna, dari awal sampai akhir sanad .
Ø وأما الصحيح لغيره فهو ما صحح لأمر أجنبي عنه إذ لم يشتمل عن صفات القبول كالحسن
Hadits shohih lighairihi adalah hadits yang tidak mengandung sifat – sifat diterimanya suatu hadits seperti hadits hasan. karena dibantu oleh periwayatan yang lain sehingga naik tingkatannya, yang semula hadits hasan lalu naik tingkatan menjadi hadits shohih[19].

 Contoh hadits shohih lighairihi :
حديث محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هرية رضي الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال : لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل الصلاة .
Adapun muhammad bin amr dikenal jujur akan tetapi beliau tidak mutqin (teliti), maka haditsnya dihukumi hasan lidzatihi. Namun hadits ini dibantu oleh periwayatan lain dari a’roj dari abi hurairoh,maka hadits tersebut naik tingkatan menjadi hadits shohih lighairihi[20].
E.     Istilah – Istilah :
v  Ashohhul asaanid  ( أصح الاساند )[21]
Ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini :
a.       Menurut imam ahmad dan ishaq bin rohiyah (202 h), ashohhul asaanid adalah dari jalur az-Zuhri (124 h) dari salim dari ayahnya.
b.      Tetapi menurut imam bukhori (256 h)  adalah malik dari nafi’ (93 h) dari ibnu umar (72 h).
c.       Menurut imam yahya bin mu’ayyin : ibrohim an-Nakho’i dari alqomah bin qois dari abdullah bin mas’ud.
d.      Dan menurut imam ali bin al-Madini ashohhu asanid adalah muhammad bin siiriin dari abidah bin amr as-Sulaimani dari ali bin abi tholib.
v  Shohihul isnad (صحيح الاسناد)[22]
Ketika muhadditsin berkata “صحيح الاسناد” atau “إسناده صحيح” maknanya adalah bahwa sebuah hadits telah memenuhi 3 syarat awal dari syarat – syarat keshohihan hadits.
v  هذا حديث صحيح أو هذا حديث غير صحيح [23]
Maksud dari istilah “هذا حديث صحيح” ialah ketika syarat – syarat yang lima telah terpenuhi dalam suatu hadits. Dan tidak hanya salah satunya saja dari kelima syarat tersebut.
Maksud dari istilah “هذا حديث غير صحيح” ialah ketika semua atau sebagian dari syarat – syarat yang lima tidak terpenuhi dalam suatu hadits.
v  متفق عليه [24]:
Maksud dari istilah tersebut adalah bahwa suatu hadits telah disepakati keshohihannya oleh imam Bukhori dan imam Muslim.
v  الجيد و القوي [25]: sinonim dari shohih.
v  الثابت والمجود والصالح : hadits yang mengandung shohih dan hasan.
v  المشبه : bermakna hasan.
v  Berdasarkan penjelasan surat dari abu dawud kepada penduduk makkah, secara garis besar mengklasifikasikan hadits menjadi lima bagian :[26]
a.     صحيح
Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak berillat dan tidak pula janggal. Hadits shohih ini disebut hadits lidzatihi, karena tingkat keshahihannya tanpa dukungan hadits lain yang menguatkannya.
b.      ما يشبه (yang menyerupai shohih)
Yang dimaksud oleh abu dawud adalah hadits shahih li gairihi, karena hadits tersebut menyerupai shahih li dzatihi, tetapi martabatnya dibawah shahih li dzatihi.
c.       يقاربه (yang mendekati shahih)
Menurut muhaddisin, istilah yang digunakan oleh Abu Dawud(275  h) itu adalah hadits hasan lidzatihi, karena hadits tersebut bisa naik kedudukannya menjadi shahih lighairihi jika didukung dengan hadits lain.
d.    وهن شديد
Menurut muhaddisin istilah ini berarti hadits dhoif, namun menurut Abu Dawud memberikan penjelasan letak kedhoifannya , beliau juga bependapat bahwa hadits dhoif  itu lebih kuat daripada pendapat para ulama’. Pencantuman hadits dhoif disertai keterangan kedhaifannya dibolehkan, maksudnya bukan untuk dijadikan hujjah, tetapi untuk menerangkan bahwa hadits tersebut adalah dhaif.
e.     صالح
Hadits shalih menurut istilah muhaddisin mencakup hadits shahih, hasan dan dhaif. Dua hadits pertama dijadikan hujjah dan yang terakhir hanya dijadikan sebagai i’tibar saja.


F.      Tingkatan – tingkatan shohih[27] :
v  Tingkatan yang paling tinggi adalah hadits yang diriwayatkan oleh ashohul asanid, seperti : malik dari nafi’ dari ibnu umar.
v  Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tingkatannya lebih rendah dari perawi ashohul asanid, seperti : riwayat hammad bin salamah dari tsabith dari anas.
v   periwayatan suhail bin abu shalih dari ayahnya dari abu hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan dari tingkatan yang tertinggi sampai dengan tingkatan yang terendah, yaitu sebagai berikut :
Ø  Muttafaq alaihi, yang disepakati keshohihannya oleh imam Bukhori dan imam Muslim (261 h). (tingkatan yang paling tinggi)
Ø  Yang diriwayatkan oleh imam Bukhori saja.
Ø  Yang diriwayatkan oleh imam Muslim saja.
Ø  Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain tetapi telah memenuhi persyaratan imam Bukhori dan imam Muslim.
Ø  Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi persyaratan imam Bukhori.
Ø  Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi persyaratan imam Muslim.
Ø  Hadits yang diriwayatkan oleh ulama’ hadits, tetapi tidak berdasarkan dengan persyaratan kedua imam tersebut. seperti ibnu Khuzaimah, ibnu Hibban dan Al-Hakim.

G.    Hukum hadits shohih :
Wajib mengamalkan menurut kesepakatan ulama’ ahli hadits, diterima oleh kalangan ulama’ ushul dan ulama’ fiqih, dan bisa dijadikan sebagai hujjah hukum islam[28].
Hukum hadits shohih lighairihi adalah shohih sebagaimana shohih lidzatihi meski sanad hadits nya tidak shohih[29].

H.    Yang pertama kali mengumpulkan hadits shohih,
Adapun orang yang pertama kali mengumpulkan hadits shohih adalah imam bukhori ,kemudian imam muslim, keduanya adalah kitab yang paling shohih setelah al-qur’an. Dan umat telah sepakat dan menerima akan keshohihan kedua kitab tersebut.
Ø  Yang paling shohih diantara keduanya adalah kitab imam bukhori, dan juga paling banyaknya faidah. Hal ini dikarenakan hadits – hadits riwayat imam bukhori lebih bersambung sanadnya dan lebih tsiqqoh rowinya, dan karena terdapat istinbat hukum – hukum fiqh yang tidak ada dalam kitab shohih muslim. Tetapi ada yang mengatakan bahwa hadits – hadits shohih muslim lebih shohih karna terdapat beberapa hadits yang lebih kuat dari hadits – hadits shohih bukhori. Namun yang benar adalah pendapat yang pertama.
Apakah dalam kitab mereka memuat semua hadits shohih ?
Imam bukhori dan imam muslim tidak memuat / mengambil semua hadits shohih ke dalam kitabnya, hal ini berdasarkan perkataan imam bukhori:  ما أدخلت في كتابي الجامع الا ما صح وتركت من الصحاح لحال الطول  “ dan imam muslim juga berkata “ ليس كل شيء عندي صحيح وضعته ههنا انما وضعت ما أجمعوا عليه
Jumlah hadits shohih imam bukhori dan imam muslim :
Ø  Imam bukhori : 7275 hadits dengan pengulangannya,
: 4000 hadits tanpa pengulangan.
Ø  Imam muslim : 12000hadits dengan pengulangannya,
: 4000 tanpa pengulangan.
Dalam kitab shohihnya imam muslim mempunyai kekhususan tersendiri , yakni mengumpulkan metode – metode hadits dalam satu tempat dengan sanad – sanadnya, lafadz lafadz pun berbeda beda sehingga memudahkan para pembaca. Berbeda dengan imam bukhori yang mengualifikasikan hadits nya dalam beberapa bab karena beliau lebih memperhatikan hukum sayariat yang terkandung dalam hadits[30].
Syaikh islam berkata : oleh karena itu banyak ulama – ulama yang menghimpun hukum – hukum syariat mereka berpegang pada kitab imam muslim dari sisi matan[31].


















2.2 Hadits Hasan
A.    Pengertian Hadits Hasan
            Secara bahasa hasan adalah sifat musyabahah dari "al husnu" bermakna indah[32]. Para Ulama Muhadditsin berbeda pendapat ketika harus mengemukakan pengertian Hadits Hasan. Dan disini kami akan menyampaikan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para Ulama :
a.       Pengertian Hadits Hasan menurut Imam At-Tirmudzy (13 Rajab tahun 279 H):
كل حديث يروى , لا يكون في إسناده من يتّهم بالكذب , ولا يكون الحديث شاذا , و يروى من غير وجه نحو ذالك,فهو عندنا حديث حسن.
               Setiap hadits yang diriwayatkan , dimana sanadnya tidak tertuduh , haditsnya tidak menyimpang dan diriwayatkan dari arah mana saja.
b.     Pengertian menurut Imam Khattabi
هو ما عرف مخرجه , و اشتهر رجاله ,و عليه مدارا أكثر الحديث , وهو الذى يقبله أكثر العلماء , و يستعمله عامة الفقهاء.
Hadits yang di ketahui sumbernya, perawinya terkenal, dan adanya poros hadist yang banyak yang diterima oleh banyak ulama dan ahli fiqih banyak yang menggunakannnya

c.       Pengertian menurut Imam Ibnu Hajar (18 Dzulhijjah tahun 852 H):
و خبر الأحد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاد.
     Khobar Ahad yang dinuqil dari perawi yang ‘adil,  dabt , bersambung sanadnya , tidak ada cacat dan tidak menyimpang.

d.       Pengertian Imam Mukhtar  
هو ما اتصل سنده بنقل العدل الذى خفّ ضبطه على مثله إلى منتهاه من غير شذوذ و لا علة.
     Hadits yang bersambung sanadnya, dinuqil dari perawi  yang ‘adil , kedhobitannya tidak terlalu sempurna dari awal sampai akhir sanad, tidak ada penyimpangan dan tidak ada cacat juga.[33]

      Jadi menurut kesimpulan dari beberapa definisi yang diuraikan oleh beberapa Muhaddits. Bahwasanya  hadits Hasan itu hampir sama dengan  hadits Shohih, hanya saja tingkat kedhabitan perawi dalam hadits Hasan lebih rendah daripada perawi di hadits Shohih.


B.     Sejarah dan  Hukum Hadits Hasan.
            Menurut Imam Taqiyuddin bin Taimiyah (20 Dzul Hijjah th. 728 H) bahwa Orang yang pertama kali mengetahui pembagian Hadits menjadi Shohih , Hasan dan Dhoif  ialah Abu ‘isa At Tirmidzy.  Sebelum beliau , belum ada yang mengetahui hal tersebut.[34]   
          Adapun  Hukum Hadits Hasan sama seperti halnya dengan hadis Shohih dalam hal pengambilan Hujjah. Dan tinggi rendahnya hadits Hasan itu terletak pada kedhobitan dan keadilan para perawinya. Hadits hasan yang tinggi  martabatnya ialah yang bersanad Ashohul – asanid.                                                         [35]
C.     Syarat – syarat hadits Hasan
• Jalur-jalurnya terkenal ( sanadnya bersambung),
• Kualitasnya tidak mencapai derajat hadist shahih.[36]
D.      Klasifikasi Hadits hasan
              Sebagaimana Hadits Shohih , hadits Hasan pun terbagi menjadi 2 macam yaitu Hasan lidzatihi dan Hasan Lighairihi.
a.       Hasan Lidzatihi :      
ما رواه عدل خفّ  ضبطه عن مثله إلى منتهاه و لم يكن شاذا و لا معلا.  
          Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang ‘Adil tapi kurang kedhobitannya dari awal sampai akhir sanadnya. Tapi tidak ada penyimpangan atau kecacatan pada hadits tersebut.
Atau secara garis besar : Hadist yang bersambung sanadnya , diriwayatkan oleh rawi yang adil dan kuat hafalannya, namun tidak se-masyhur hadits shohih dan tidak mencapai kualitas hadits shohih.[37]

Contoh hadits Hasan lidzatihi:
حديث محمّد بن عمرو عن أبي سلامة عن أبي هريرة                                                                                       
 أنّ رسول اللّه صلى اللّه عليه و سلم قال : لو لا أن أشق على أمتى لأمرتهم بالسواك عند كلّ الصلاة[38]
Dalam hadist ini Muhammad bin Amr terkenal dengan sifat jujur, namun beliau tidak memiliki sifat Dhobt Tam karena beliau jelek dalam hal menghafal.[39]

            Hadits ‘Amr bin Abi Salamah ini merupakan salah satu contoh hadits hasan lidzatihi, hadits ini bisa naik tingkatan menjadi hasan Shohih lighairihi jika di bantu dengan hadits hasan lidzatihi lainnya. [40]

b.      Hasan Lighairihi :
فهو الحديث الضعيف الّذى تقوى بمتابعة أو مثله.
Hadits Dhoif yang dikuatkan dengan riwayat yang lain atau semisalnya sehinga bisa naik derajatnya menjadi hadis hasan lighairihi.
Atau secara garis besar : adalah hadist yang dhoif  sebab adanya perawi yang fasiq atau berdusta. Adapun kedudukan hasan lighoiri lebih rendah daripada hasan lidzatihi .[41]

Contoh Hadist Hasan Lighairihi :
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه الترمذي(
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang perempuan dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal…”
Al-Turmudzi mengomentari bahwa hadits itu terdapat riwayat-riwayat lain, yaitu dari Umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad. Dalam hal ini Al-Turmudzi menilai hadits tersebut hasan, karena meskipun ‘Asim dalam sanad hadits yang diriwayatkannya itu dhaif karena jelek hafalannya, hadits ini didukung oleh adanya riwayat-riwayat lain[42]
        Perlu diketahui bahwa Hadits Hasan bisa naik tingkatan derajat martabatnya ke hadits Shohih apabila ada periwayatan Hadits lain yang bisa membantunya. Karena perawi dalam hadits Hasan itu kurang sempurna kedhobitannya dan ke’adilannya.  Tapi kekurangan itu bisa ditutupi jika ada periwayatan hadits yang bisa membantunya, walau hanya dengan satu periwayatan saja.[43]
 Ada tiga syarat dimana hadist dhoif dapat naik tingkatannya menjadi hadist hasan lighairihi  :
a. Rowi-nya bukan orang yang mughoffal (pelupa) sehingga banyak kesalahan saat ia meriwayatkan hadist,
b. Rowi tidak fasiq,
c. Hadist nya dibantu oleh periwayatan yang lain.[44]

E.      Martabat Hadits Hasan
        Seperti halnya hadits Shohih , Hadits Hasan juga mempunyai tingkatan atau Martabat. Dan ada dua tingkatan pada Hadits Hasan , antara lain :
a.       Yang paling tinggi tingkatannya
       Hadits yang mempunyai jalur sanad dari :
بهز بن حكيم عن أبيه عن جدّه , و عمرو بن شعيب عن أيسه عن جدّه , و ابن إسحاق بن التيمي.
Ada yang menyebutkan , bahwa hadits yang datang dari jalur sanad dari para perawi yang telah disebut di atas termasuk pada Hadist Shohih. Namun , tingkatan Shohih yang paling rendah.
b.      Tingkatan yang dimana Ulama masih berbeda pendapat dalam menentukan , apa termasuk hadits hasan atau hadits Dho’if.
Seperti Hadits yang diriwaytkan dari : Al Haris bin ‘Abdillah , ‘Ashim bin Dhomroh , Hajjaj bin Arthoh dan lainnya.

F.       Istilah – Istilah dalam permasalahan Hadits
a.        Makna perkataan Imam Tirmidzi dan lainnya “ حديث حسن صحيح   
Jika dilihat sepintas , ibarat ini terlihat Musykil. Karena seperti yang diketahui bahwa Hasan derajatnya labih rendah dari Shohih. Lalu bagaimana dengan ibarat itu yang menggabungkan keduanya dan menyamakan derajat keduanya ?
Para Ulama pun menjawab tentang masalah ini dengan berbagai jawaban. Tapi jawaban yang paling bagus adalah jawababn yang diberikan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar. Dimana beliau menyimpulkan :
1.      Jika ada sebuah hadits yang mempunya 2 sanad atau lebih , maka makna nya menjadi “ حسن باعتبار إسناد , صحيح باعتبار أخر
Hasan menurut sebagian sanad , dan Shohih menurut sebagian sanad lainnya.
2.      Jika ada sebuah hadits yang hanya mempunyai satu sanad, maka maknanya menjadi
حسن عند قوم , صحيح عند قوم أخرين "
Hasan menurut pendapat satu kaum , shohih menurut qaum lainnya.






G.    Kitab-kitab yang terdapat hadits-hadits Hasan :
                Para Ulama Muhaddits memang tidak memisahkan secara khusus akan hadits-hadits hasan. Tetapi disini akan menyebutkan beberapa kita yang didalamnya banyak terdapat hadits Hasan,diantaranya adalah :
1.      Sunan At-Tirmidzy
Kitab ini dipopulerkan oleh Imam Tirmidzi sendiri. Dalam kitab ini banyak disebutkan akan hadits – hadits Hasan yang lain.

2.      Sunan Abi Daud
             Dan dalam kitab Sunan Abu Daud ini , jika beliau tidak menjelaskan apakah hadits itu Shohih atau Dho’if maka hadits itu dinamakan hadits Hasan menurutnya.

3.      Sunan Darul Qutni
Dan imam Darul Qutni sudah banyak mengangkat hadits- hadits Hasan dari kitab ini.























                                                          BAB III
KESIMPULAN


  • Hadits shahih lebih sempurna dari pada hadits hasan, karna hadits shahih para perwinya adil,sanadnya bersambung sampei Rosulullah,sempurna hafalannya, kuat ingatannya, tidak janggal dan tidak ada cacat. Sedangkan hadits hasan, bedanya sedikit dengan shahih yaitu: lemah hafalannya tapi yang lain sama.
  • Meskipun hadits hasan kududukannya dibawah hadits shahih tapi para ulama’ berhujjah bahwa hadits hasan boleh dijadikan sebagai sandaran hukum islam, dalam moral dan aqidah.



















DAFTAR PUSAKA

1)      Moh, Akib Muslim, Ilmu Mushtholah Hadits Kajian Historis Metodelogis, (kediri: STAIN kediri press, 2010)
2)      Sajidur Rohman As-Syidqi, Al-Mu’jam Al-Hadts Fi Ulum Al-Hadits, (lebanon: darul kutub al-alamiyah,1971)
3)      Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain).
4)      Muhammad ma’sum zaein, ulumul hadits dan mustholah hadits , (jombang: darul-hikmah, 2008)
5)      Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta, Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008)
6)      Fathur Rahman, ikhtisar mustholahul hadits,(Bandung, PT Alma’arif)
7)      Abu hasan musthofa bin ismail as-sulaimani,Jawahirus sulaimaniyah,(darul kayan),
8)      Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits, Darul kutub Ilmiyah
9)      Alawi Al-Maliki,Muhammad, 2009, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
10)  Abdurrahman bin abu bakar, Jalaluddin assuyuti, tadriburrawi fi syarhi taqrib annawawi (daru thoibah:2)










[1] Moh, Akib Muslim, Ilmu Mushtholah Hadits Kajian Historis Metodelogis, (kediri: STAIN kediri press, 2010),hal 130.
[2] Sajidur Rohman As-Syidqi, Al-Mu’jam Al-Hadts Fi Ulum Al-Hadits, (lebanon: darul kutub al-alamiyah,1971),hal 74.
[3] Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 34
[4] Muhammad ma’sum zaein, ulumul hadits dan mustholah hadits , (jombang: darul-hikmah, 2008), hal 112.
[5] Ibid ...,hal 112.
[6] Fatchur rahman, ikhtisar mustholahul hadits, (bandung, PT Almaarif,1974), hlm. 117.
[7] Mahmud thohan, Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 34
[8] Abu hasan musthofa bin ismail as-sulaimani,Jawahirus sulaimaniyah,(darul kayan),hal; 36
[9] Ibid ...,hal 36
[10] Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta, Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 22
[11] Fathur Rahman, ikhtisar mustholahul hadits,(Bandung, PT Alma’arif), hal; 120
[12] Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta, Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 20
[13] Fathur Rahman, ikhtisar mustholahul hadits,(Bandung, PT Alma’arif), hal; 122
[14] Fathur Rahman, ikhtisar mustholahul hadits,(Bandung, PT Alma’arif), hal; 118

[15] Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 35
[16] Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta, Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 20
[17] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits, Darul      kutub Ilmiyahhal; 80
[18] Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta, Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 26
[19] Qowaidut Tahdits hal; 80
[20] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits, Darul      kutub Ilmiyahhal: 80
[21] Syihabuddin & Hasan Bashri Salim, Mabadiul ulumil hadits, (Jakarta, Fakultas Dirasat Islamiyah Press, 2008), hal; 27
[22] Ibid ...,hal; 28
[23] Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 36
[24] Ibid ...,hal; 44
[25] Hafidz Hasan Almasudi, minhatul mughits, (Surabaya, Andalas), hal; 15
[26] Suyardi, studi kitab hadits, hal 96-97
[27] Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal;43
[28] Mahmud thohan,Taysir mustholah hadist, (al – haromain), hal; 36
[29] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits, Darul      kutub Ilmiyahhal; 82

[30] Abdurrahman bin abu bakar, Jalaluddin assuyuti, tadriburrawi fi syarhi taqrib annawawi (daru thoibah:2) hal : 56
[31] Abdurrahman bin abu bakar, Jalaluddin assuyuti, tadriburrawi fi syarhi taqrib annawawi (daru thoibah:2) hal :56

[32] Syauqi dhaif, mu’jam al-washith,(maktabah shurouq ad-Dauliyyah),hal;187
[33] Mahmud Thahan,Taysir Mustholah Hadits,Al Haromain, hal.45
[34] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits, Darul      kutub Ilmiyah,hal 54.
[35]   Drs.Fathurrahman,Ikhtisar Mustholah Hadits
[36]   Abu hasan musthofa bin ismail as-sulaimani,Jawahirus sulaimaniyah,(darul kayan),hal; 70
[37]   Hasan muhammad al – masyath,taqriraat assaniyah,(darul kutub islamiyah),hal;11
[38] Muhammad bin yazid Al qazwini , Sunan Ibn Majah.
[39]   Hasan muhammad al – masyath,taqriraat assaniyah,(darul kutub islamiyah),hal;11
[40]   DR. Syihabuddin , Mabadi ulumul hadits , hal; 36.
[41] Mahmud thohan, Taysir mustholah hadist,(al – haromain), hal;52 – 53
[42] Alawi Al-Maliki,Muhammad, 2009, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal : 63.
[43] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim ,Qawaidu Tahdits min fununil mustholah hadits,
[44]   Hafidz hasan al – mas’udi ,Minhatul mughist,(andalus),hal;14


Selasa, 05 Januari 2016

Minggu, 14 Juni 2015

faidah huruf istifham


MAKNA-MAKNA BENTUK ISTIFHAM
وقدْ تَخْرُجُ ألفاظُ الاستفهامِ عنْ معناها الأصليِّ لمعانٍ أُخَرَ تُفْهَمُ منْ سياقِ الكلامِ
Terkadang lafazh-lafazh Istifham itu keluar dari makna asal (pertanyaan/menuntut tashowwur atau tashdiq) kepada makna lain yg dapat difahami dari siyaq kalam/konteks kalimat:
كالتسويةِ، نحوُ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
1. Taswiyah (menyamakan):
SAWAAUN ‘ALAIHIM A ANDZARTAHUM AM LAM TUNDZIRHUM
sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan
والنفيِ، نحوُ هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلاَّ الْإِحْسَانُ
2. Nafi (meniadakan):
HAL JAZAAUL-IHSAANI ILLAL-IHSAANU
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).
والإنكارِ، نحوُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ، أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
3. Inkar (mengingkari):
A GHAIRO-LLAAHI TAD’UUNA
Apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah
A LAISA-LLAAHU BIKAAFIN ‘ABDAHU
Apakah Allah tidak cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya
والأمْرِ، نحوُ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ، ونحوُ أَأَسْلَمْتُمْ، بمعنى: انتَهُوا، وأَسْلِمُوا.
4. Amar (memerintah):
FA HAL ANTUM MUNTAHUUNA
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)
A ASLAMTUM
Masuk Islam-lah kamu
Bermakna INTAHUU = berhentilah. Dan ASLIMUU = masuk islam-lah.
والنهيِ، نحوُ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ
5. Nahi (melarang):
A TAKHSYAWNA HUM FALLAAHU AHAQQU AN TAKHSYAW HU
Janganlah kamu takut kepada mereka, maka Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti
والتشويقِ، نحوُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
6. Tasywiq (memberi rangsangan, surprise)
HAL ADULLUKUM ‘ALAA TIJAAROTI TUNJIIKUM MIN ‘ADZAABIN ALIIM
sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih
والتعظيمِ، نحوُ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
7. Ta’zhim (meng-agungkan)
MAN DZAL-LADZII YASYFA’U ‘INDAHUU ILLAA BI IDZNIHI
Gerangan siapa yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya
والتحقيرِ، نحوُ أَهَذَا الذي مَدَحْتَهُ كثيرًا
8. Tahqir (merendahkan):
A HADZA ALLADZI MADAHTA HU HATSIRAAN
Cuma segini kau bilang banyak
DAN SEBAGAINYA disebutkan dalam kitab yg lebih besar.

وأمَّا الاستفهامُ، فهوَ طَلَبُ العلْمِ بشيءٍ، وأدواتُه الهمزةُ، و(هلْ)، و(ما)، و(مَنْ)، و(متى)، و(أيَّانَ)، و(كيفَ)، و(أينَ)، و(أنَّى)، و(كمْ)، و(أيُّ).

Adapun yg dikatakan istifham (dlm ilmu ma’ani) adalah, menuntut pengetahuan tentang sesuatu. Adad istifham (alat kata Tanya) berupa
1. Hamzah
2. Hal
3. Maa
4. Man
5. Mataa
6. Ayyaana
7. Kaifa
8. Aina
9. Annaa
10. Kam dan
11. Ayyu.

فالهمزةُ، لطَلَبِ التصوُّرِ أو التصديقِ.

1. HAMZAH (أ = A)
Dipergunakan untuk menuntut:
1. TASHAWWUR (penggambaran/konsepsi)
2. TASHDIQ (pembenaran nisbat/konfirmasi)

والتصوُّرُ: هوَ إدراكُ المفرَدِ، كقولِكَ: (أعليٌّ مسافرٌ أَمْ خالدٌ؟)، تَعتقِدُ أنَّ السفَرَ حَصَلَ منْ أحدِهما، ولكنْ تَطْلُبُ تعيينَه؛ ولذا يُجابُ بالتعيينِ، فيُقالُ: (عليٌّ)، مَثلًا.

Tashowwur (penggambaran) adalah : hal mengetahui mufrad (salah-satu dari dua bagian penisbatan (musnad ataupun musnad ilaih)).
Contoh kamu berkata:
“A ‘ALIYYUN MUSAAFIRUN AM KHOOLID?”
“Apakah yg pergi itu ALI atau KHOLID?” (menanyakan mufrad yg berupa musnad ilaih)
Kamu meyakini bahwa penisbatan SAFAR/perjalanan telah berhasil terjadi pada salah-seorang keduanya, namun kamu menuntut Ta’yin (penentuan). Oleh karena itu dijawab secara Ta’yin, maka dijawab: “ALI ” –misalnya.

والتصديقُ: هوَ إدراكُ النِّسبةِ، نحوُ: (أسافَرَ عليٌّ)؟ تَستفْهِمُ عنْ حصولِ السفَرِ وعدَمِه. ولذا يُجابُ بـ (نعم) أوْ (لا).

Tashdiq (pembenaran) adalah : hal mengetahui nisbat contoh:
“A SAAFARO ALIY?”
“Apakah ALI PERGI?” (menanyakan nisbat/hukum perginya Ali)
Menuntut pengetahuan tentang terjadinya pergi atau tidak, oleh karena itu dijawab “NA’AM=iya” atau “LAA= tidak”

والمسؤولُ عنه في التصوُّرِ ما يَلِي الهمزةَ، ويكونُ لهُ معادِلٌ يُذْكَرُ بعدَ (أمْ)، وتُسَمَّى متَّصِلَةً.

Suatu yang dipertanyakan (dg adat istifham hamzah) dalam hal tashowwur yaitu lafazh yang mengiringi hamzah, kemudian ada lafazh Mu’adil (pertimbangan) yang disebut setelah أم (AM=ataukah) dan dinamakan AM MUTTASHILAH.

فتقولُ في الاستفهامِ عن المسْنَدِ إليه: (أَأَنْتَ فعلْتَ هذا أَمْ يُوسفُ؟(

Contoh dalam istifham tentang musnad ilaih :
أَأَنْتَ فعلْتَ هذا أَمْ يُوسفُ؟
“A ANTA FA’ALTA HADZA AM YUSUF?” = “apakah KAMU yg mengerjakan ini ataukah YUSUF?”

وعن المسْنَدِ: (أَرَاغِبٌ أنتَ عن الأمْرِ أَمْ راغبٌ فيه؟(

Contoh istifham tentang musnad:
أَرَاغِبٌ أنتَ عن الأمْرِ أَمْ راغبٌ فيه؟
“A ROOGHIBUN ANTA ‘ANIL-‘AMRI AM ROOGHIBUN FIIHI?” = “apakah KAMU MEMBENCI perkara itu, ataukah KAMU MENYUKAI-nya?”

وعن المفعولِ: (أَإِيَّايَ تَقْصِدُ أَمْ خالدًا؟(

Contoh istifham tentang maf’ul:
أَإِيَّايَ تَقْصِدُ أَمْ خالدًا؟
A IYYAAYA TAQSHIDU AM KHOOLIDAN?
Apakah KEPADAKU kamu bermaksud, ataukah KEPADA KHOLID?

وعن الحالِ: (أراكبًا جئتَ أَمْ ماشيًا؟)

Contoh istifham tentang haal
A ROOKIBAN JI’TA AM MAASYIYAN? = apakah BERKENDARAAN kamu datang, ataukah JALAN KAKI?

وعن الظرْفِ: (أيومَ الخميسِ قَدِمْتَ أَمْ يومَ الجمُعَةِ؟( وهكذا

Contoh istifham untuk zhorof (waktu/tempat)
A YAUMUL-KHOMIISI QADIMTA AM YAUMAL-JUM’ATI? = apakah HARI KAMIS kamu datang, ataukah HARI JUM’AT?
Demikian juga untuk ta’alluq2 istifham yg lain. (misal jar-majrur, maf’ul mutlaq, liajlih dan sebaginya disebut dalam kitab yg lebih detil)

.وقدْ لا يُذْكَرُ المعادِلُ، نحوُ: (أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا؟)، (أَرَاغِبٌ أنتَ عن الأمْرِ؟)، (أإيَّايَ تَقْصِدُ؟)، (أراكبًا جئتَ؟)، (أيومَ الخميسِ قَدِمْتَ؟(

Terkadang tidak menyebut Mu’adil (tapi tetap disebut IDROK TASHOWUR bukan IDROK TASHDIQ dengan mengira-ngira ada mu’adil sebagaimana contoh tersebut diatas).
Contoh :
A ANTA FA’ALTA HADZA? = apakah KAMU yg mengerjakan ini?
A ROOGHIBUN ANTA ‘ANIL-AMRI? = apakah kamu MEMBENCI perkara itu?
A IYYAAYA TAQSHIDU? = apakah KEPADAKU maksudmu?
A ROOKIBAN ANTA? = apakah BERKENDARA kamu datang?
A YAUMAL-KHOMIISI QODIMTA? = apakah DI HARI KAMIS kamu datang?

والمسؤولُ عنه في التصديقِ النِّسبةُ. ولا يكونُ لها معادِلٌ، فإنْ جاءتْ (أمْ) بعدَها قُدِّرتْ منْقَطِعَةً، وتكونُ بمعنى (بلْ).

Hal yg ditanyakan di dalam tashdiq yaitu nisbat, dan tidak ada Mu’aadil. Apabila terdapat أم (am) setelahnya, maka diakdir sebagai AM MUNQOTI’ (Am Munfashilah) dan mempunyai arit BAL = Bahkan.
==========

و (هلْ) لطلَبِ التصديقِ فقطْ، نحوُ: (هلْ جاءَ صديقُكَ)؟ والجوابُ: (نعم) أوْ (لا) ولذا يَمتَنِعُ معها ذِكْرُ المعادِلِ، فلا يُقالُ: (هلْ جاءَ صديقُك أمْ عدوُّك؟(

2. HAL (هل)
Berfungsi untuk menuntut TASHDIQ saja. Contoh:
HAL JAA-A SHODIIQUKA? = apakah temanmu telah datang? dan sebagai jawabannya adalah : NA’AM atau LAA.
Oleh karenanya dilarang menyebut Mu’aadil, maka jangan mengatakan :
HAL JAA-A AHODIIQUKA AM ‘ADUWWUKA?

و (هل) تُسمَّى بسيطةً إن استُفْهِمَ بها عنْ وجودِ شيءٍ في نفسِه، نحوُ: (هَلِ العَنْقَاءُ موجودةٌ؟). ومركَّبةً إن استُفْهِمَ بها عنْ وجودِ شيءٍ لشيءٍ، نحوُ: (هلْ تَبِيضُ العَنْقَاءُ وتُفْرِخُ؟)

HAL dinamakan Basithah jika dipakai untuk mempertanyakan adanya sesuatu dalam zatnya. Contoh HAL AL-‘UNQO-U MAUJUUDUN? = apakah BURUNG UNQA’ itu ada? (burung mitos berkepala dan bersayap seperti garuda dan berbadan spt singa).
Dan dinamakan Murokkab jika dipakai untuk mempertanyakan adanya sesuatu didalam sesuatu. Contoh. HA TABYADHDHU AL-UNQO’ WA TUFRIKHU? = apakah BURUNG UNQA’ itu BERTELUR DAN MENETAS? (disebut murokkab sbb mempertanyakan keberadaan burung unqa’ tentang bertelur dan menetas).
==========

و(ما) يُطْلَبُ بها شرحُ الاسمِ، نحوَ: ما العَسْجَدُ أو اللُّجَيْنُ؟ أوْ حقيقةُ الْمُسمَّى، نحوُ: (ما الإنسانُ؟) أوْ حالُ المذكورِ معها، كقولِك لقادِمٍ عليك: (ما أنتَ؟)

3. MAA (ما)
Digunakan untuk mempertanyakan keterangan/penjelasan suatu nama. Contoh:
MAA AL’ASJAD AW LAJAIN? = apa itu asjad? atau lajain? (asjad=emas, lajain=perak). Atau mempertanyakan hakikat sesuatu yg diberi nama. Contoh: MAA AL-INSAN? Apa itu manusia? Atau mempertanyakan hal-ihwal lafal yg disebut bersama MAA. Contoh kamu berkata pada orang yg datang padamu: MAA ANTA? = siapa kamu? (jawab: Tamu, atau Utusan Raja).
==========

و (مَن) يُطلَبُ بها تَعيينُ العُقلاءِ، كقولِك: (مَنْ فَتَحَ مِصْرَ؟)

4. MAN (من)
Menuntut menentukan suatu yang berakal, contoh: MAN FATAHA MISHRO? Siapa yg menaklukkan Mesir? (jawab: Amr bin ‘Ash)
===========

و(متى) يُطْلَبُ بها تَعيينُ الزمانِ، ماضيًا كانَ أوْ مستَقْبلًا، نحوُ: (متى جِئْتَ؟) و(متى تَذْهَبُ؟)

5. MATAA (متى)
Menuntut menentukan zaman baik madhi (telah lewat) atau istiqbal (akan datang). Contoh:
MATAA JI’TA? Kapan kamu datang? MATAA TADZHABU? Kapan kamu akan pergi?
==========

و(أيَّانَ) يُطْلَبُ بها تَعيينُ الزمانِ المستَقْبَلِ خاصَّةً، وتكونُ في موضِعِ التهويلِ، كقولِه تعالى: {يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ}؟

6. AYYAANA (أيان)
Menuntut menentukan zaman istiqbal scara khusus, dan digunakan suatu yg luar biasa. Contoh Firman Allah:
YAS’ALU AYYAANA YAUMUL QIYAAMATI? = ia bertanya bilakah hari kiamat?
==========

و(كيفَ) يُطْلَبُ بها تعيينُ الحاِل، نحوُ: (كيفَ أنتَ)

7. MATAA (متى)
Menuntut menentukan hal keadaan. Contoh:
KAIFA ANTA? Bagaimana keadaan kamu?
==========

و(أينَ) يُطْلَبُ بها تعيينُ المكانِ، نحوُ: (أينَ تَذْهَبُ؟(

8. AINA (أنى)
Menuntut menentukan tempat. Contoh:
AINA TADZHABU? = kemana kamu pergi?
==========

و(أنَّى) تكونُ بمعنى (كيفَ)، نحوُ: {أَنَّى يُحْيِـي هَـذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا}؟ وبمعنى (مِنْ أينَ)، نحوَ: {يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَـذَا}؟ وبمعنى (متى)، نحوُ: (زِدْ أنَّى شئتَ؟(

9. ANNAA أنى
1. Sama dengan ma’na KAIFA. Contoh :
ANNAA YUHYII HADZIHI ALLAAHU BA’DA MAUTIHAA?
Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?
2. sama dengan ma’na MIN AINA. Contoh:
YAA MARYAMU ANNAA LAKI HADZAA?
Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?
3. Sama dengan ma’na MATAA. Contoh:
ZID ANNAA SYI’TA?
Tambahkan kapankah kamu suka?.
==========

و(كمْ) يُطلَبُ بها تَعيينُ عددٍ مبْهَمٍ نحوُ:{كَمْ لَبِثْتُمْ}؟

10 KAM (كم)
Menuntut untuk menentukan jumlah/hitungan yg samar. Contoh:
KAM LABITSTUM?
Berapa lama kalian tinggal?
==========

و(أيُّ) يُطْلَبُ بها تمييزُ أحَدِ المتشاركيْنِ في أمْرٍ يَعمُّهما، نحوُ: {أَيُّ الْفَرِيقَيْنِ خَيْرٌ مَقَامًا}؟
ويُسأَلُ بها عن الزمانِ والمكانِ والحالِ والعددِ والعاقلِ وغيرِه، حسَبَ ما تُضَافُ إليه.

11. AYYU (أي)
Menuntut untuk membedakan satu dari dua kemungkinan didalam perkara yg mengumumi pada keduanya. Contoh:
AYYU-LFARIIQOINI KHOIRUN MAQOOMAN?
Manakah di antara kedua golongan (kafir dan mukmin) yang lebih baik tempat tinggalnya?

Senin, 13 April 2015

manahij dakwah

Bagi menjayakan sesuatu dakwah, pendakwah haruslah mempunyai Ilmu pengetahuan yang cukup serta berketrampilan dalam menyampaikan dakwahnya. Mengetahui dan mempengaruhi serta pandai menggunakan situasi dan kondisi disamping itu mengenal sikap mental masyarakat yang didakwahnya itu.
Apakah yang dimaksudkan dengan metod dakwah itu? Apakah hubung kaitnya dengan Uslub dan Manhaj?
Metod (metode) bermaksud cara melakukan sesuatu atau sistem. Ia berasal daripada bahasa Inggeris (method) yang bererti sistem, aturan atau kaedah. Pemakaian metod dalam bahasa Melayu dan bahasa Inggeris sama ertinya.
Uslub ialah satu perkataan Arab yang bermaksud jalan atau cara. Mengikut pengistilahan dakwah, uslub dakwah ialah penyampaian kandungan atau isi dakwah dengan ibarat dan bentuk yang tertentu. Manakala Manhaj atau Minhaj juga satu perkataan Arab yang beerti jalan atau cara.
Adapun wasilah, iaitu satu istilah yang juga penting dalam dakwah adalah beerti media atau saluran penyampaian kandungan tersebut yang biasanya melalui media massa.
Daripada pengertian tersebut uslub dan manhaj sama ertinya dan kedua-duanya sama dengan pengertian metod dalam bahasa Melayu dan bahasa Inggeris. Dengan itu, metod, uslub dan manhaj mempunyai ikatan yang rapat antara satu sama lain, kerana ketiga-tiganya satu dari sudut makna. Daripada maksud di atas juga dapat disimpulkan bahawa metodologi dakwah itu bermaksud kajian mengenai cara atau kaedah penyampaian Islam kepada sasaran. Dakwah hendaklah mengikuti kaedah tertentu, kerana kalau tidak ia mungkin tidak membawa apa-apa kesan.[1]
Uslub bermaksud cara, metode atau seni. Jika dikatakan Ia berada pada salah satu uslub kaum ”. Ertinya ia mengikuti metode mereka. “ Kaum menggunakan beberapa uslub dalam berbicara ”. Ertinya kaum menggunakan bermacam-macam seni.
Uslub dakwah ialah Ilmu yang mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara langsung. Sumber-sumber asas metode dakwah yang dijadikan pegangan para pendakwah ialah Al-Quran, As-Sunnah, Sirah (sejarah), Salafus Soleh dari kalangan sahabat, tabi’in, dan ahli Ilmu, serta Iman. Metode dakwah yang bijak umumnya berdasarkan pada hal-hal yang berikut :
Ø Memeriksa dan menganalisis.
Ø Menghilangkan keraguan (Syubhat)
Ø Memberikan semangat kepada mad’u (Penerima dakwah)
Ø Membimbing mad’u (Penerima dakwah) dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan Sirah Rasul dan Salafus Soleh.
Ø Menyampaikan cara-cara di atas dengan bijak, yakni melalui nasihat dan diskusi yang baik atau (kalau memang diperlukan) dengan kekuatan. Namun., cara terakhir ini khusus bagi mereka yang menentang Islam dan zalim.[2]
Firman Allah S.W.T : -
Maksudnya : “ Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka ”.
(Surah Al-Ankabut : 46 )
MEDIA, MEDIUM ATAU PERANTARAAN DAKWAH (WASILAH)

Media, medium atau wasilah dakwah adalah segala yang membantu da’I (pendakwah) dalam menyampaikan dakwahnya secara efisyen dan efektif. Media (wasilah) terbahagi kepada dua macam : -
Medium (wasilah) secara langsung. ( MEDIA EKSTERN DAKWAH)
Media ekstern dakwah ini adalah berdasarkan pandangan yang tepat terhadap kenyataan hidup yang selalu tunduk kepada hukum sebab akibat. Berdasarkan kepada kenyataan ini medium ini sangat banyak tetapi yang paling penting untuk diketahui ada tiga iaitu waspada, meminta bantuan kepada orang lain, dan disiplin atau peraturan.
Adapun waspada atau berhati-hati dan sentiasa bertaqwa kepada Allah S.W.T adalah perlu ada dalam diri seorang da’I sebelum berdakwah kepada orang lain. Di samping itu memberi peringatan kepada ahli keluarganya agar berhati-hati terhadap perbuatan maksiat, bahaya nafsu, kaum munafik dan orang-orang kafir. Firman Allah S.W.T : -
Maksudnya : “ Berdua dengan Abu Bakar, ketika keduanya dalam gua bukit Tsur, ketika itu ia berkata kepada sahabatnya ; “ Janganlah engkau berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita ”. ( Surah At-Taubah : 40 )
Demikianlah pendirian Rasulullah S.A.W yang selalu berpegang pada pertolongan Allah S.W.T, kepada pemeliharaan dan dukungan-Nya bukan semata-mata kepada yang diusahakannya
Setelah kita meminta pertolongan Allah S.W.T, seorang da’i perlulah meminta pertolongan daripada orang lain bagi melancarkan jalan dakwahnya. Kerana gerakan dakwah itu berjalan secara berjemaah.
Disiplin atau pengaturan adalah sesuatu yang paling baik dalam mengatur sebarang aktiviti, dan aktiviti itu pula ditujukan dan diarahkan pula kearah yang lebih baik dalam berdakwah dan seterusnya menambahkan kemungkinan kejayaan da’I dalam mencapai tujuannya yang murni.
Medium (wasilah) secara tidak langsung. (MEDIA INTERN DAKWAH)
Media intern penyampaian dakwah ialah dengan perantaraan bahasa, perbuatan, melalui akhlak dan sikap para pendakwah itu sendiri dapat dijadikan contoh dan dapat menarik orang lain kepada Islam.
Antaranya adalah :
Ø Penyampaian dengan perkataan.
Contohnya seperti pertemuan-pertemuan umum, diskusi, pengajaran-pengajaran di masjid, kuliah-kuliah, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pendidikan, pertemuan khusus, dakwah perseorangan, nasihat, media tulis atau cetak, surat, makalah, buku, brosur, media elektronik dan media khusus seperti kaset atau faksimili dan sebagainya lagi wasilah-wasilah yang boleh digunakan oleh da’i.
Ø Penyampaian dengan perbuatan
Contohnya seperti suatu tindakan untuk menumpaskan kemungkaran membela yang hak. Sabda Nabi S.A.W yang bermaksud : “ Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahkannya (menghapuskan) dengan tangannya, jika dia tidak berkuasa berbuat demikian, maka hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya (mulutnya). Jika dengan itu juga dia tidak berkuasa, maka hendaklah dengan hatinya. Tetapi, itu adalah merupakan selemah-lemah iman ”.


Ø Penyampaian dengan akhlak dan peribadi.[3]
Seseorang pendakwah selain daripada dinilai dari sudut Ilmunya, dia juga dinilai dari segi peribadi akhlak atau personalitinya. Kerana peribadi seseorang itu mencerminkan dirinya yang sebenar. Contoh ikutan yang terbaik bagi umat Islam adalah Nabi Muhammad S.A.W. Firman Allah S.W.T :-
Maksudnya : “ Sesungguhnya pada Rasul Allah itu (Muhammad) ada ikutan yang baik bagimu, iaitu bagi orang yang mengharapkan (pahala) Allah dan hari kemudian, serta dia banyak mengingati Allah ”. ( Surah
[1] Abd Aziz bin Mohd Zin, Pengantar Dakwah Islamiah m/s 75-76, Kuala Lumpur, cetakan 1999.
[2] Said bin Ali Al-Qahtani, Dakwah Islam Dakwah Bijak m/s 101-102, Jakarta, cetakan 1994.
[3] Ibid m/s 103-104