wah, gak terasa 7 bulan lagi aku Drop Out dari pondok *secara baik '' :D
Kamis, 26 September 2013
Selasa, 10 September 2013
Sabtu, 07 September 2013
Pemanfaatan Kulit Hewan

Telah dimaklumi bahwa syariat Islam melarang memakan bangkai dan menjualnya. Lalu, bagaimana dengan memanfaatkan kulitnya?
Hukum kenajisan kulit bangkai mengikuti hukum bangkainya. Apabila bangkai hewan tersebut suci maka kulitnya pun suci, dan bila bangkai hewannya najis maka kulitnya pun najis. Kulit bangkai hewan yang dihukumi suci dapat digunakan dan dimanfaatkan serta dimakan. Sebagai contoh, bangkai ikan, kulitnya halal dimakan dan suci.
Hukum Menyamak Kulit Bangkai
Para ulama berselisih pendapat tentang dapatkah kulit bangkai disucikan dengan cara disamak. Perselisihan ini terbagi dalam tujuh pendapat.
Pendapat Pertama
Pendapat Pertama
Mereka menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak, kecuali anjing dan babi serta hewan yang dilahirkan dari salah satu dari keduanya. Suci dengan disamak bagian luar dan dalamnya, dan dapat dipergunakan pada benda yang kering dan basah (cair), serta tidak ada perbedaan antara hewan yang dibolehkan dimakan dagingnya dengan yang dilarang. Ini adalah pendapat Mazhab Syafi’i dan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud [1]
Ibnu Hajar menyatakan, “Al-Imam asy-Syafi’i mengecualikan anjing dan babi serta yang lahir dari peranakan keduanya, karena keduanya -menurut beliau- adalah najis a’iniyah.” [2]
Mereka mendasari pendapat ini dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ فَقَالَ هَلَّا اسْتَمْتَعْتُمْ بِإِهَابِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيِّتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seekor bangkai kambing, lalu beliau berkata, ‘Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?’ Mereka menjawab, ‘Itu ‘kan bangkai.’ Beliau menyatakan, ‘Yang diharamkan hanya memakannya.’” (Hr. al-Bukhari,Kitab al-Buyu’, Bab Julud al-Maitah Qabla ad-Dibagh, no. 2221)
Dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan redaksional,
أَلاَ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ
“Mengapa kalian tidak mengambilnya, lalu kalian sak dan kalian manfaatkan?” (Hr. Muslim,Kitab al-Haidh, Bab Thaharatul Jild al-Maitah bi Dibagh, no. 808)
2. Hadits yang berbunyi,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari Abdullah bin Abbas, beliau berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila kulit bangkai telah disamak, maka dia telah suci.’” (Hr. Muslim, Kitab al-Haidh, Bab Thaharatul Jild al-Maitah bi Dibagh, no. 810)
3. Hadits Salamah bin al-Mahiq, yang berbunyi,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ دِبَاغُهَا طُهُورُهَا
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Tabuk mendatangi satu rumah yang ternyata di dalamnya terdapat kantung air yang tergantung, lalu beliau meminta air, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah bangkai.’ Maka beliau menjawab, ‘Penyamakannya adalah penyuciannya.’” (Hr. Abu Daud dalamSunannya, Kitab al-Libas, Bab fi Ihab al-Maitah, no. 4125; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud dan Shahih Sunan an-Nasa’I, no. 4243 dan 3957)
Bahkan, Syekh al-Albani menyatakan, “Telah ada lima belas hadits tentang penyamakan kulit bangkai (الدباغ) yang telah disebutkan asy-Syaukani dalam Nail al-Authar: 1/54. [3] Sebagiannya tercantum dalam ash-Shahihain, dan riwayat tersebut sudah ditakhrij dalam kitab Ghayah al-Maram (25–29). [4]
4. Anjing dan babi dikecualikan darinya, karena keduanya adalah najis ‘ainiyah. [5] Imam Syafi’i berdalil tentang pengecualian babi dengan firman Allah,
أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“… Atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)….” (Qs. al-An’am: 145)
Beliau menjadikan kata ganti pada kata “فَإِنَّهُ” kembali kepada mudhaf ilaih kata “خِنزِيرٍ”, kemudian beliau menganalogikan anjing dengan babi karena keduanya sama-sama najis, juga karena babi tidak memiliki kulit. [6]
Pengecualian anjing dan babi ini dibantah oleh asy-Syaukani dalam pernyataan beliau, “Pendalilan asy-Syafi’i dengan ayat di atas, untuk pengecualian babi dan analogi anjing kepada babi, adalah pendalilan yang tidak sempurna, kecuali setelah dipastikan benar bahwa pengembalian kata ganti tersebut adalah kepada mudhaf ilaih, bukan kepada mudhaf (yaitu, kata لَحْم , pen). Ini adalah masalah yang masih diperselisihkan, dan paling tidak, masih ada kemungkinan bahwa yang rajih adalah kata ganti tersebut kembali kepada mudhaf.
Sesuatu yang belum pasti, tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi) atas orang yang menyelisihinya. Demikian juga, masih boleh dikatakan bahwa babi itu najis, walaupun kenajisan itu mencakup seluruhnya, baik daging, rambut, kulit, dan tulangnya, dan itu dikhususkan dengan hadits-hadits tentang penyamakan kulit (ash-Dhibagh).” [7]
Imam al-Baihaqi merajihkan pendapat ini, dan beliau menyampaikan dalil penguat Mazhab Syafi’i tentang pengecualian anjing dalam hal ini, dengan dalil-dalil berikut: [8]
1. Hadits Rafi’ bin Khadij dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ
“Penghasilan terburuk adalah mahar pezina, hasil penjualan anjing, dan penghasilan tukang bekam.” (Hr. Muslim dalam Shahihnya, Kitab al-Musaqah, Bab Tahrim Tsaman al-Kalbu, no. 1568)
Al-Baihaqi menyatakan, “Menyamak kulit anjing, menjualnya, dan mengambil hasil penjualannya adalah usahanya untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya sebagai penghasilan terburuk.”
2. Hadits Usamah bin Umair, yang berbunyi,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ جُلُودِ السِّبَاعِ
“Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perihal kulit binatang buas.” (Hr. an-Nasa’i dan al-Baihaqi; sanadnya dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1011)
Imam al-Baihaqi menyatakan, “Mungkin mereka berdalil dengan keumuman hadits,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Semua kulit bangkai yang disamak itu telah suci.” (Hr. Muslim dalam Shahihnya [9], dari hadits Ibnu Abas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Matan hadits ini dipahami untuk selain kulit anjing, dengan dalil hadits Rafi’ dan selainnya, karena ini (bahwa anjing dan seluruh bagian tubuhnya itu najis, ed) berlaku khusus, sedangkan itu (bahwa semua kulit bangkau yang disamak itu telah suci, ed) berlaku umum. (Juga terdapat kaidah bahwa) yang khusus mengalahkan yang umum. [10]
Demikian juga Syekh Masyhur Hasan Salman merajihkan pendapat al-Baihaqi. [11]
Pendapat Kedua
Menyatakan bahwa kulit bangkai tidak dapat disucikan dengan disamak. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan riwayat yang termasyhur dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Malik. [12] Bahkan, inilah yang dijadikan pendapat Mazhab Ahmad bin Hambal. [13]
Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin ‘Ukaim, yang berbunyi,
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ
“Janganlah memanfaatkan bagian bangkai, baik kulit ataupun persendiannya.” (Hr. Ahmad dalam Musnadnya: 4/310, Abu Daud no. 4128, at-Tirmidzi no. 1729; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 38 dan Silsilah ash-Shahihah no. 2812)
Syekh Al Albani menukil pernyataan Shalih, anak Imam Ahmad, dari kitab Masa’il (hlm. 160), “Ayahku berkata, ‘Allah telah mengharamkan bangkai, lalu kulitnya adalah bagian dari bangkai. Aku memegang hadits Ibnu ‘Ukaim, yang mudah-mudahan shahih (yang berbunyi),
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ
‘Janganlah memanfaatkan bagian bangkai, baik kulit ataupun persendiannya.’”
Imam Ahmad menyatakan, “Aku tidak memiliki satu hadits shahih pun dalam masalah penyamakan kulit, dan hadits Ibnu ‘Akim lah yang paling shahih.” [14]
Pendapat ini pun menyatakan bahwa bangkai adalah najis ‘ainiyah yang tidak mungkin disucikan, seperti kotoran keledai yang seandainya dicuci dengan air selaut pun tentu tidak akan suci.
Syekh Ibnu Utsaimin menjawab bahwa ini adalah qiyas (analogi) yang menentang nash, yaitu hadits Maimunah. [15]
Akan tetapi, mereka menjawab bahwa hadits Maimunah tersebut telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh hadits Abdullah bin ‘Ukaim.
Ini pun dijawab oleh Syekh Ibnu Utsaimin dengan beberapa jawaban:
- Hadits ini lemah [16], sehingga tidak dapat menghadapi hadits yang shahih.
- Hadits ini tidak dapat dijadikan penghapus hukum (nasikh), karena kita tidak mengetahui apakah peristiwa kambing dalam hadits Maimunah terjadi sebulan sebelum beliau meninggal atau beberapa hari? Padahal, di antara syarat nasakh adalah waktu peristiwanya jelas diketahui.
- Seandainya dapat dipastikan bahwa hadits ini terjadi lebih akhir, maka ini pun tidak menentang hadits Maimunah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ
“Janganlah memanfaatkan bagian bangkai, baik kulit ataupun persendiannya.”
Dapat dipahami bahwa kata ” إِهَابٍ” adalah kulit bangkai sebelum disamak. Sengan demikian, dapat terjadi kompromi antara hadits tersebut dengan hadits Maimunah. [17]
Adapun Syekh al-Albani, beliau menyatakan, “Yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa pengertian ” إِهَابٍ” adalah kulit bangkai yang belum disamak.” [18]
Pendapat Ketiga
Menyatakan bahwa yang dapat disucikan dengan disamak hanya kulit bangkai hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya. Ini adalah Mazhab al-Auza’i, Ibnu al-Mubarak, Abu Tsaur, dan Ishaq bin Rahuyah.” [19]
Mereka bersandar kepada kekhususan sebab (disampaikannya hadits) tersebut, sehingga mereka membatasi kebolehan hanya kepada hewan yang boleh dimakan dagingnya. Alasannya, adanya penyebutan bangkai kambing (dalam hadits), dan ini dikuatkan dengan pandangan bahwa penyamakan tidak menambah kesucian melebihi penyembelihan. Selain itu, seandainya hewan yang dilarang untuk dimakan dagingnya disembelih pun, dia tidak akan suci dengan sembelihan tersebut, menurut mayoritas ulama, maka demikian juga penyamakan. [20]
Hal ini dibantah oleh asy-Syaukani, dengan menyatakan bahwa keumuman hadits-hadits penyamakan tidak dapat dibatasi hanya pada sebabnya, sehingga bersandar kepada sebab wurud hadits yang berupa kambing Maimunah merupakan suatu sikap yang tidak benar.” [21]
Ishaq bin Rahuyah menyatakan, “Pengertian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ“ adalah hewan yang dimakan dagingnya, demikianlah ditafsirkan oleh an-Nadhar bin Syumail.” Ishaq menyatakan bahwa an-Nadhar bin Syumail menyatakan, “Dikatakan إِهَاب untuk kulit hewan yang dimakan dagingnya.” [22]
Tentang penukilan dari an-Nadhar bin Syumail, hal itu dibantah oleh asy-Syaukani, dengan pernyataan beliau, “Ini menyelisihi pernyataan yang disampaikan Abu Daud dalam Sunannya, bahwa an-Nadhar menyatakan, ‘Yang dinamakan ‘ihab’ (إِهَاب) adalah yang belum disamak. Apabila telah disamak, maka namanya adalah ‘syanan’ dan ‘qirbah’.’” [23]
Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Syekh Muhammad bin Utsaimin dalam pernyataan beliau, “Yang rajih adalah pendapat ketiga, dengan dasar sebagian lafal hadits yang berbunyi ‘دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا‘ diungkapkan dengan penyembelihan (ذكاة).
Sudah dimaklumi bahwa penyembelihan hanya menyucikan hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya. Sehingga, seandainya kamu menyembelih seekor keledai dengan menyebut nama Allah dan menumpahkan darahnya, maka hal itu tidak dinamakan penyembelihan (syar’i).
Dengan dasar ini, kami berpendapat bahwa kulit bangkai hewan yang dilarang untuk dimakan dagingnya, walaupun ia suci di masa hidupnya, dia tetap tidak dapat disucikan dengan disamak. Alasannya, hewan-hewan yang suci di masa hidupnya tersebut dijadikan suci karena sulit menghindarinya, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ
‘Sesungguhnya ia dari yang mengelilingi kalian.’
Illat (sebab hukum) ini hilang dengan kematian, sehingga hukumnya kembali kepada asalnya, yaitu najis, sehingga kulitnya tidak dapat disamak. Oleh karena itu, pendapat yang rajih adalah bahwa semua kulit bangkai hewan yang dibolehkan untuk dimakan dagingnya dapat disucikan dengan cara disamak. Ini adalah salah satu pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.” [24]
Pendapat Keempat
Pendapat Keempat
Menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan cara disamak, kecuali babi. Ini adalah mazhab Abu Hanifah. [25]
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil pendapat pertama, tanpa menganalogikan anjing dengan babi. Namun, Imam Nawawi menyatakan, “Kami dan kalian sepakat mengeluarkan babi dari keumuman (hadits-hadits penyamakan), dan anjing sama dengannya juga.” [26]
Pendapat Kelima
Menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan cara disamak, namun hanya bagian luarnya, dan tidak bagian dalamnya. Dengan demikian, tidak dapat digunakan untuk benda cair. Ini adalah mazhab Malik yang masyhur. [27]
Mereka menyatakan bahwa penyamakan hanya berpengaruh pada bagian luar saja. Akan tetapi, hal ini dibantah dengan keumuman hadits-hadits penyamakan kulit bangkai yang mencakup bagian luar dan dalamnya. Oleh karena itu, Ibnu Hajar menyatakan, “Dan demikian juga, (telah kelirulah) orang yang memahami larangan tersebut untuk bagian dalam dan dapat disucikan bagian luarnya.” [28]
Pendapat Keenam
Menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak, tanpa pengecualian. Ini adalah pendapat Mazhab Zahiriyah dan Abu Yusuf. [29]
Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa penyamakan dapat menyucikan kulit bangkai. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut bersifat umum, mencakup seluruh binatang. Inilah pendapat yang dirajihkan oleh asy-Syaukani. Beliau menyatakan bahwa pendapat inilah yang rajah, karena hadits-hadits tentang penyucian kulit bangkai dengan disamak tidak membedakan antara anjing dan babi dengan selainnya.
Pendapat Ketujuh
Menyatakan tentang diperbolehkannya memanfaatkan kulit bangkai walaupun tidak disamak terlebih dahulu. Ini adalah pendapat az-Zuhri. Beliau mengambil kemutlakan bolehnya memanfaatkan kulit bangkai, baik yang telah disamak ataupun belum, dari hadits Ibnu Abbas yang tidak menyebutkan adanya perintah penyamakan.
Pendapat ini dibantah dengan adanya hadits yang menjelaskan penyamakan, seperti hadits Maimunah, Aisyah, dan Salamah bin al-Mahiq, serta yang lainnya. Oleh karena itu, asy-Syaukani menyatakan, “Tampaknya, belum sampai riwayat lain dan hadits-hadits yang lainnya kepada az-Zuhri.” [31]
Wallahu A’lam.
Hukum Memakan Kulit Bangkai yang Telah Disamak
Kulit bangkai yang telah disamak hukumnya suci, namun terlarang untuk dimakan, dengan dasar hadits Ibnu Abbas yang berbunyi,
مَاتَتْ شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
“Kambing Saudah binti Zam’ah mati, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah!, Fulanah (yaitu, kambing Saudah) telah mati.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?’ Ia menjawab, ‘Apakah kami boleh mengambil kulit kambing yang telah mati (menjadi bangkai)?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Allah telah berfirman,
Katakanlah, ‘Tiadalah kuperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi.’ (Qs. al-An’am: 145)
Sungguh, kalian tidak memakannya apabila disamak, namun kalian dapat memanfaatkannya.’ Maka ia (Saudah) menyuruh orang mengambilnya dan menguliti kulitnya, lalu ia samak dan membuat kantung air (qirbah) darinya, berada padanya hingga robek.” (Hr. Ahmad, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Majduddin Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa al-Akhbar) [32]
Asy-Syaukani menyatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan memakan kulit bangkai dan penyamakan walaupun menyucikannya namun tidak menghalalkan untuk memakan bangkai tersebut. Di antara dalil yang menunjukkan larangan memakannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas,
إِنَّمَا حَرُمَ مِنَ الْمَيْتَةِ أَكْلُهَا
‘Yang diharamkan dari bangkai adalah memakannya.’
Ini termasuk permasalahan yang tidak aku ketahui bahwa ada perselisihan di dalamnya.” [33]
Demikianlah, selintas permasalah tentang pemanfaatan kulit bangkai menurut pendapat para ulama. Mudah-mudahan bermanfaat. Wabillahi at-taufiq.
Referensi:
1. Nailul Authar bi Syarhi al-Muntaqa lil Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Darul Kutub al-’Ilmiyah, Beirut.
2. Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.
3. Syarhul Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, Syekh Ibnu Utsaimin, tahqiq Dr. Khalid al-Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khail, cetakan kedua, tahun 1414 H, Muassasatu Asam.
4. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawaidiha, Syekh al-Albani, cetakan pertama, tahun 1417 H, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, KSA.
5. Al-Khilafiyat, Abu Bakar al-Baihaqi, tahqiq Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama, tahun 1414 H, Dar ash-Shumai’i, KSA.
6. Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, cetakan pertama, tahun 1419 H, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, Beirut.
7. Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu al-Hajaj, Imam an-Nawawi, asy-Syekh Khalil Ma’mun Syiha, cetakan ketiga, tahun 1417 H, Dar al-Ma’rifah.
8. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhammad Najib al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut.
2. Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.
3. Syarhul Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, Syekh Ibnu Utsaimin, tahqiq Dr. Khalid al-Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khail, cetakan kedua, tahun 1414 H, Muassasatu Asam.
4. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawaidiha, Syekh al-Albani, cetakan pertama, tahun 1417 H, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, KSA.
5. Al-Khilafiyat, Abu Bakar al-Baihaqi, tahqiq Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama, tahun 1414 H, Dar ash-Shumai’i, KSA.
6. Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, cetakan pertama, tahun 1419 H, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, Beirut.
7. Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu al-Hajaj, Imam an-Nawawi, asy-Syekh Khalil Ma’mun Syiha, cetakan ketiga, tahun 1417 H, Dar al-Ma’rifah.
8. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhammad Najib al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi.
Artikel: EkonomiSyariat.Com
===
Catatan kaki:
[1] Lihat: Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu al-Hajaj, Imam an-Nawawi, asy-Syekh Khalil Ma’mun Syiha, cetakan ketiga, tahun 1417 H, Dar al-Ma’rifah, 4/276; Nailul Authar bi Syarhi al-Muntaqa lil Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Darul Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 1/72.
[2] Fathul Bari: 9/658.
[3] Dalam kitab yang dirujuk penulis, yaitu 1/72. Hal ini terjadi karena perbedaan cetakan.
[4] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawaidiha, Syekh al-Albani, cetakan pertama, tahun 1417 H, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, KSA, 6/742; ketika berbicara tentang hadits no. 2812.
[5] Nailul Authar: 1/72.
[6] Ibid.
[7] Ibid: 1/73.
[8] Diringkas dari kitab al-Khilafiyaat, Abu Bakar al-Baihaqi, tahqiq Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama, tahun 1414 H, Dar ash-Shumai’i, KSA, 1/223-245.
[9] Lafal pada riwayat Muslim: إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
[10]Al-Khilafiyat: 1/243.
[11]Lihat: komentar beliau atas kitab al-Khilafiyaat: 1/246.
[12]Lihat: Syarah Shahih Muslim: 4/276.
[13]Lihat: Syarhul Mumti’: 1/70.
[14]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 6/742; ketika berbicara tentang hadits no. 2812.
[15]Lihat: Syarhul Mumti’: 1/70.
[16]Namun hadits ini dinilai shahih oleh Ahmad bin Hambal dan Syekh al-Albani.
[17]Syarhul Mumti’: 1/71—72.
[18]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 6/742.
[19]Lihat: Syarah Shahih Muslim: 4/276 .
[20]Fathul Bari: 9/659.
[21]Nailul Authar: 1/73.
[22]Disampaikan at-Tirmidzi dalam Sunannya, pada Kitab Libas, Bab Ma Ja’a fi Julud al-Maitah Idza Dubighat; lihat: Tuhfat al-Ahwadzi: 5/401.
[23]Lihat: Tuhfah al-Ahwadzi: 5/401.
[24]Syarhul Mumti’: 1/75.
[25]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[26]Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, an-Nawawi, 1/275.
[27]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[28]Fathul Bari: 9/659.
[29]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[30]Nailul Authar: 1/73.
[31]Nailul Authar: 1/74.
[32]Lihat: Nailul Authar: 1/75.
[33]Nailul Authar: 1/75.
Artikel: EkonomiSyariat.Com
===
Catatan kaki:
[1] Lihat: Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu al-Hajaj, Imam an-Nawawi, asy-Syekh Khalil Ma’mun Syiha, cetakan ketiga, tahun 1417 H, Dar al-Ma’rifah, 4/276; Nailul Authar bi Syarhi al-Muntaqa lil Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Darul Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 1/72.
[2] Fathul Bari: 9/658.
[3] Dalam kitab yang dirujuk penulis, yaitu 1/72. Hal ini terjadi karena perbedaan cetakan.
[4] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawaidiha, Syekh al-Albani, cetakan pertama, tahun 1417 H, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, KSA, 6/742; ketika berbicara tentang hadits no. 2812.
[5] Nailul Authar: 1/72.
[6] Ibid.
[7] Ibid: 1/73.
[8] Diringkas dari kitab al-Khilafiyaat, Abu Bakar al-Baihaqi, tahqiq Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama, tahun 1414 H, Dar ash-Shumai’i, KSA, 1/223-245.
[9] Lafal pada riwayat Muslim: إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
[10]Al-Khilafiyat: 1/243.
[11]Lihat: komentar beliau atas kitab al-Khilafiyaat: 1/246.
[12]Lihat: Syarah Shahih Muslim: 4/276.
[13]Lihat: Syarhul Mumti’: 1/70.
[14]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 6/742; ketika berbicara tentang hadits no. 2812.
[15]Lihat: Syarhul Mumti’: 1/70.
[16]Namun hadits ini dinilai shahih oleh Ahmad bin Hambal dan Syekh al-Albani.
[17]Syarhul Mumti’: 1/71—72.
[18]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 6/742.
[19]Lihat: Syarah Shahih Muslim: 4/276 .
[20]Fathul Bari: 9/659.
[21]Nailul Authar: 1/73.
[22]Disampaikan at-Tirmidzi dalam Sunannya, pada Kitab Libas, Bab Ma Ja’a fi Julud al-Maitah Idza Dubighat; lihat: Tuhfat al-Ahwadzi: 5/401.
[23]Lihat: Tuhfah al-Ahwadzi: 5/401.
[24]Syarhul Mumti’: 1/75.
[25]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[26]Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, an-Nawawi, 1/275.
[27]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[28]Fathul Bari: 9/659.
[29]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[30]Nailul Authar: 1/73.
[31]Nailul Authar: 1/74.
[32]Lihat: Nailul Authar: 1/75.
[33]Nailul Authar: 1/75.
Samak kulit bangkai
1-وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ - أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ . وَعِنْدَ الْأَرْبَعَةِ: - أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ
Artinya : Dari Ibnu Abbas r.a., beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kulit telah disamak, maka ia telah menjadi suci.” (Dikeluarkan oleh Muslim, Di sisi Imam yang empat ; “Kulit mana saja yang disamak,”)[1]
2-وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ – صلى الله عليه وسلم - - دِبَاغُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ طُهُورُهاَ – صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
Artinya : Dari Salamah bin al-Muhabbiq r.a., beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Samak kulit bangkai dapat menyucikannya.” (Telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban)[2]
3-وَعَنْ مَيْمُونَةَ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: - مَرَّ النبي- صلى الله عليه وسلم - بِشَاةٍ يَجُرُّونَهَا، فَقَالَ: "لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا؟" فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ، فَقَالَ: "يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ" - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ
Artinya : Dari Maimunah r.a., beliau berkata : “Nabi SAW melewati kambing yang sedang ditarik, lalu beliau bersabda : “Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya ?” Mereka berkata : “Sesungguhnya ia sudah menjadi bangkai.”. Ia dapat disucikan oleh air dan daun qaradh.”(Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Nisa-i)[3]
Menurut keterangan Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengenai hukum kulit bangkai, dapat dijelaskan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai hukum kulit bangkai dalam tujuh mazhab, yaitu sebagai berikut :
1. Tidak suci kulit bangkai apapun dengan sebab samak. Ini merupakan salah satu pendapat yang masyhur dari Ahmad dan Malik.
2. Kulit bangkai yang dimakan dagingnya suci dengan sebab samak, tidak suci kulit bangkai lainnya. Ini merupakan pendapat Auza’i, Ibnu Mubarak, Abu Daud dan Ishaq Rahawiyah
3. Semua bangkai suci dengan sebab samak kecuali kulit anjing dan babi dan yang diperanakkan dari salah satu keduanya. Ini merupakan Mazhab Syafi’i. Pendapat ini juga merupakan pendapat yang diriwayat dari Ali dan Ibnu Mas’ud
4. Semua kulit bangkai suci kecuali kulit babi. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah
5. Semuanya kulit bangkai, termasuk anjing dan babi adalah suci, kecuali yang sucinya itu hanyalah luarnya saja, tidak suci dalamnya. Ini merupakan Mazhab Malik dalam satu riwayat
6. Semua kulit bangkai, luarnya atau dalamnya adalah suci dengan sebab samak. Ini merupakan pendapat Daud dan ahli dhahir
7. Kulit bangkai dapat dimanfaatkan tanpa samak. Ini merupakan pendapat al-Zuhri
Mazhab Syafi’i sebagaimana dijelaskan diatas berpendapat semua kulit bangkai adalah suci kecuali kulit anjing dan babi serta yang yang diperanakkan dari salah satu keduanya. Dalil pendapat ini adalah berdasarkan dhahir hadits di atas. Adapun pengecualian anjing dan babi adalah karena kedua binatang ini najis pada ketika hidupnya. Ini tentunya berbeda dengan binatang lainnya yang suci pada ketika hidupnya, maka dengan sebab disamak kulitnya pada ketika menjadi bangkai berarti mengembalikannya kepada suci sebagaimana halnya pada ketika hidup.
Adapun dalil-dalil dari mazhab lain adalah sebagai berikut :
1. Ahmad dan yang setuju dengannya, berdalil dengan sebagai berikut :
1). Dhahir firman Allah SWT :
حرمت عليكم الميتة
Artinya : Diharamkan atas kamu bangkai (Q.S. al-Maidah : 3 )
Kandungan ayat di atas mencakup kulit dan lainnya.
Bantahannya :
Ayat ini memang bersifat umum, tetapi telah dikhususkan dengan maksud hadits shahih riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas yang menjelaskan samak dapat meyucikan kulit bangkai.
2). Hadits Abdullah bin ‘Akiim, beliau berkata :
أتانا كتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل موته بشهر أن لا تنتفعوا من الميتة باهاب ولا عصب
Artinya : Datang kepada kami surat dari Rasulullah SAW sebulan sebelum beliau wafat, yang berisi : “Jangan kalian manfa’atkan bangkai, baik kulit maupun sarafnya
Bantahannya :
a). Menurut para hafidh, hadits ini mursal
b). Disamping itu, hadits ini matannya juga mudhtharib (goyang)
c). Hadits ini dalam bentuk tulisan (surat), sedangkan hadits-hadits shahih yang menjelaskan samak dapat menyucikan kulit bangkai di atas merupakan sabda Nabi SAW yang diriwayat melalui mendengar dan lebih shahih sanadnya serta lebih banyak riwayatnya. Karena itu, hadits yang menjelaskan samak dapat menyucikan kulit bangkai lebih patut di utamakan dan lebih kuat
d). Hadits ini sifatnya umum yang dikhususkan oleh hadits shahih riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas, maka larangan dalam hadits ini hanya pada kulit sebelum samak.
e). Pengertian “ihaab” adalah kulit bangkai sebelum disamak. Sesudah disamak tidak dinamakan dengan ihaab. Karena itu tidak bertentangan dengan maksud hadits riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas.
3). Kulit adalah bagian dari bangkai. Karena itu, tidak suci dengan sebab sesuatupun sebagaimana halnya daging
Bantahannya :
a). Qiyas kepada daqing tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash
b). Samak pada daging tidak ada maslahahnya dan hanya merusak daging itu sendiri, berbeda dengan kulit
4). Alasan kulit bangkai menjadi najis adalah karena mati yang tidak dapat terpisah darinya dengan sebab samak. Karena itu, hukumnya tidak dapat berobah dengan sebab samak.
Bantahannya :
Alasan ini bertentangan dengan nash yang menjelaskan bahwa samak kulit bangkai dapat menyucikannya. Lagi pula samak selain kulit hanya merusaknya, berbeda dengan kulit.
2. Auza’i, Ibnu Mubarak dan lainnya berargumentasi dengan antara lain :
a. Hadits riwayat Abu al-Malih ‘Amir bin Itsamah dari bapaknya, beliau berkata :
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن جلود السباع
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang dari kulit binatang buas.(H.R. Abu Daud, Turmidzi, al-Nisa-i dan lainnya dengan sanad shahih)
Hadits ini juga telah diriwayat oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata :“Hadits ini adalah shahih.”
Bantahannya :
a). Larangan dalam hadits ini, karena biasanya, kulit bintang buas yang diambil orang tetap dipertahankan bulunya. Karena itu, ia tidak dapat suci dengan sebab samak
b). Larangan tersebut pada kulit yang belum disamak.
Kedua penafsiran ini supaya tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas. Jadi kandungan hadits ini tidak menunjuki penyamakan kulit binatang buas yang tidak dimakan tidak dapat menyucikannya
b. Hadits Salamah ibnu al-Muhabbiq :
دباغ الاديم ذكاته
Artinya : Penyamakan kulit adalah menyembelihnya.
Mereka mengatakan :
“Penyembelihan binatang yang tidak dimakan tidak dapat menyucikannya.”
Maksud pernyataan ini adalah binatang yang tidak dimakan tidak dapat disembelih, karena itu, penyamakan kulitnya tidak dapat menyucikannya, karena penyamakan kulit binatang hanya dapat dilakukan dengan menyembelihnya.
Bantahannya :
Pengertian hadits ini adalah penyamakan kulit dapat menyucikannya sama halnya dengan menyembelihnya. Jadi, bukan berarti penyamakannya harus dengan menyembelihnya. Seandainya yang terakhir ini menjadi maksud hadits ini, maka tentu bertentangan dengan dalil-dalil shahih riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas yang menyatakan samak kulit bangkai dapat menyucikannya.
c. Hewan yang tidak dimakan, maka tidak suci kulitnya dengan sebab samak, sama halnya dengan anjing.
Bantahannya :
Qiyas kepada anjing tidaklah tepat, karena anjing memang najis pada ketika hidup, berbeda halnya dengan kulit bangkai lainnya yang suci pada ketika hidup
3. Pendapat Abu Hanifah bahwa samak kulit dapat menyucikannya dengan mengecualikan kulit babi dan pendapat Daud dengan tanpa pencualian sesuatupun adalah berdalil dengan beramal dengan keumuman hadits mengenai samak dan juga karena diqiyas kepada keledai.
Bantahan :
a). Sifat hidup lebih kuat dari samak, buktinya sifat hidup menjadi sebab suci sejumlah benda, sedangkan samak hanya dapat menyucikan kulit. Karena itu, kalau sifat hidup tidak dapat menyucikan anjing dan babi, maka tentunya samak lebih patut tidak dapat menyucikannya.
b). Najis hanya hilang dengan cara mu’alajah (melakukan sesuatu atasnya) apabila najis tersebut merupakan yang datang kemudian. Adapun apabila najis tersebutmulazamah dengan benda, maka tidak dapat dihilangkan, seperti tahi, maka demikian juga anjing.
c). Hadits di atas, meskipun umum tetapi sudah ditakhshis dengan yang bukan anjing dan babi berdasarkan dalil-dalil di atas.
d). Apabila kita setujui dengan pendapat Abu Hanifah yang mengecualikan babi, maka tentunya anjing semakna dengan babi.
e). Qiyas kepada keledai kurang tepat, karena keledai suci pada ketika hidup, maka dengan sebab samak kulit bangkainya, berarti mengembalikan kepada kesuciannya pada ketika hidup yang merupakan asalnya, berbeda dengan anjing dan babi dimana keduanya najis pada ketika hidup
4. Pendapat Malik dalam riwayat lain yang mengatakan samak hanya menyucikan luar kulitnya saja bertentangan dengan dhahir umum hadits yang menerangkan samak dapat menyucikan kulit bangkai
5. Pendapat al-Zuhri yang mengatakan kulit bangkai dapat dimanfaatkan tanpa samak berargumentasi dengan hadits Ibnu Abbas, beliau berkata :
هلا اخذتم اهابها فانتفعتم به
Artinya : Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya untuk dimanfaatkannya.
Bantahannya :
Hadits ini bersifat mutlaq, maka dipertempatkan sesuai dengan hadits-hadits shahih di atas.[4]
[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 26
[2] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 27
[3] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 27
[4] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 217-222
fiqh
Fiqh telah menetapkan makanan yang halāl dan yang harām. Makanan halal boleh dijelaskan dengan sesuatu bahan makanan yang suci dan baik di samping tidak melanggari syariat Islam sewaktu mendapatkan dan menggunakannya. Arak, khinzir serta anjing adalah contoh makanan yang telah ternyata tidak dihalalkan oleh syarak (haram) untuk memakannya. Ini adalah berdasarkan pada peraturan yang ditemui dalam al-Qur'an, kitab suci Islam. Peraturan lain ditambah kepada ini dalamfatwa oleh Mujtahid dengan berbagai peringkat ketegasan, tetapi mereka bukan sentiasa dipegang sebagai berautoritatif oleh semua. Menurut al-Qur'an, satu-satunya fokus yang secara jelas diharamkan adalah daging dari haiwan yang mati sendiri, darah, daging babi, dan haiwan yang didedikasikan selain untuk Tuhan.(Al-Qur'an 5:3).
Perkara berhubung Halal dan Haram telah diperjelaskan dengan begitu nyata dalam al-Quran. Setiap sumber makanan, sumber pendapatan, bahan keperluan harian dan sebagainya, wajib Halal. Dalam Islam tidak ada istilah ‘Separa Halal’, ‘Separuh Halal’ atau ‘Gred Halal dengan 3 Bintang’ atau sebagainya. Setiap bahan dan sumbernya perlulah 100% Halal malah suci dan baik dan tidak menimbulkan rasa was-was atau keraguan mengenai status Halalnya. Ini adalah kerana setiap sumber yang haram akan menjadi darah daging dan akan menjejaskan amalan, doa dan personaliti dalaman dan luaran seseorang.
Dalam kita membincangkan konsep Haram, ia bukan sahaja meliputi makanan yang tidak mengandungi khinzir, malah ia meliputi konsep yang lebih luas lagi seperti sumber pendapatan, cara hidup dan lain-lain lagi. Malah haram bagi umat Islam sesuatu barangan atau perkhidmatan itu, jika ia dicari dengan cara seperti mencuri dan menyalahi aturan penggunaannya dalam konsep undang-undang Islam.
Sumber bahan makanan dan minuman[sunting]
Sumber utama makanan dan minuman manusia adalah dari haiwan, tumbuh-tumbuhan, bahan semulajadi, bahan kimia dan mikro-organisma yang mana ada di antaranya yang dihalalkan dan ada yang diharamkan.
Haiwan
Haiwan boleh dibahagikan kepada dua kumpulan iaitu;
- a) Haiwan Darat.
- b) Haiwan Air.
2.1.1 Haiwan Darat
Semua haiwan darat(mamalia maun @ mamalia herbivor)seperti lembu,rusa,kambing dan sebagainya, serta keluarga burung yang tidak beracun dan muncung paruhnya tumpul dan bengkok seperti itik,ayam,burung puyuh dan sebagainya halal dimakan, kecuali;
i. Haiwan yang tidak disembelih mengikut hukum syarak.(Disembelih bukan kerana Allah).
ii. Babi.
iii. Anjing.
iv. Haiwan(mamalia maging @ mamalia karnivor) yang mempunyai taring atau gading yang digunakan untuk membunuh iaitu haiwan-haiwan buas seperti harimau, beruang, gajah, badak sumbu, kucing dan seumpamanya.
v. Burung yang mempunyai kuku pencakar, paruh tajam, makan menyambar (burung pemangsa) seperti burung helang, burung hantu dan seumpamanya(karnivor).
vi. Haiwan-haiwan yang disyariatkan oleh Islam untuk dibunuh seperti tikus, kala jengking, burung gagak, lipan,lipas,lalat, ular dan seumpamanya(reptilia).Namun begitu sejenis reptilia padang pasir itu biawak padang pasir(dhab) boleh dimakan dalam Islam.
vii. Haiwan yang dilarang oleh Islam membunuhnya seperti semut, lebah, burung belatuk, burung hud-hud dan labah-labah.Sejenis belalang daun yang darahnya tidak mengalir boleh dimakan menurut Islam.
viii. Haiwan yang dipandang jijik (keji)(al-Khabaith) oleh umum seperti kutu, lalat, ulat dan seumpamanya.
ix. Haiwan yang hidup di darat dan di air (dua alam) seperti katak, buaya, penyu, anjing laut,singa laut dan seumpamanya(amfibia).Ketam yang hidup dua alam seperti jenis Ketam Batu dan Ketam Hijau adalah haram dimakan(sila lihat penjelasan di rencana di bawah).
x. Semua jenis haiwan dan tumbuh-tumbuhan yang dihasilkan oleh bioteknologi DNA adalah halal,namun haram dimakan yang berasal dari haiwan yang lahir dari salah satu keturunan dari babi atau anjing.
2.1.2 Haiwan Air
Haiwan air ialah haiwan yang boleh hidup secara hakikinya di dalam air sahaja. Ia adalah halal dan boleh dimakan kecuali yang beracun, memabukkan dan membahayakan kesihatan manusia.Ikan Belacak halal dimakan.
2.1.3 Tumbuh-tumbuhan
Semua jenis tumbuh-tumbuhan dan hasilnya adalah halal dimakan kecuali yang berbisa, beracun, memabukkan, membahayakan kesihatan manusia serta yang dihasilkan oleh bioteknologi DNA yang bersumberkan dari bahan yang haram.
2.1.4 Minuman
Semua air adalah halal diminum kecuali yang beracun misalnya racun atau ubatan merbahaya, memabukkan dan membahayakan kesihatan manusia dan bercampur dengan benda-benda najis.Seperti arak,alkohol peminum dan berkaitan dengannya.
2.1.5 Bahan Semulajadi
Semua bahan semulajadi seperti air, mineral dan lain-lain adalah halal kecuali yang bercampur dengan najis, beracun, memabukkan dan membahayakan kesihatan.
2.1.6 Bahan Kimia
Semua bahan kimia adalah halal kecuali yang bercampur dengan najis, beracun, memabukkan dan membahayakan kesihatan.
2.1.7 Bahan Tambah
Bahan Tambah (Food Additives) seperti penstabil, pengemulsi, pewarna,perisa,pengawet dan seumpamanya adalah halal kecuali yang dihasilkan dari sumber haiwan atau tumbuh-tumbuhan yang diharamkan oleh hukum syarak.
Bahan Gunaan Orang Islam
Bahan gunaan orang Islam boleh dibahagikan kepada dua kategori iaitu;
- a) Kosmetik
- b) Pakaian dan peralatan.
3.1 Kosmetik
3.1.1 Kosmetik adalah bahan-bahan atau ramuan yang terdiri daripada pelbagai unsur untuk dimasukkan ke dalam tubuh, disapu, digosok, dibalut, ditempel, dipakai dengan tujuan untuk kecantikan seperti pewarna rambut, bedak, gincu, pewarna kuku,maskap muka,celak dan seumpamanya.
3.1.2 Bahan kosmetik yang diperbuat daripada tumbuh-tumbuhan dan bahan kimia adalah boleh digunakan kecuali yang beracun dan membahayakan kesihatan. Bahan kosmetik yang diperbuat daripada sumber haiwan halal yang disembelih menurut kehendak syarak adalah boleh digunakan.
Nota tamabahan:Islam melarang penggunaan perwarna hitam dengan tujuan untuk menghitamkan rambut,penggunaan warna lain seperti warna perang dan sebagainya adalah dibolehkan,namun penggunaannya mestilah bertempat dan tidak mendatangkan keburukan di kalangan masyarakat serta bahan yang digunakan perlulah suci,selamat,halal dan tidak menyekat pengaliran air masuk ke dalam kulit kepala.Pembuatan tatu pada tubuh manusia dengan apa cara sekali pun juga adalah haram disisi Islam.
3.2 Pakaian dan Peralatan
3.2.1 Bahan pakaian dan alatan yang diperbuat dari tumbuh-tumbuhan boleh digunakan.
3.2.2 Bahan pakaian dan alatan yang diperbuat daripada bulu haiwan boleh digunakan kecuali bulu babi dan anjing.
3.2.3 Bahan pakaian dan alatan yang diperbuat daripada tulang, tanduk,kerang-kerangan, kuku dan gigi haiwan yang dagingnya halal dimakan melalui sembelihan mengikut hukum syarak boleh digunakan.
Bahan pakaian dan alatan yang diperbuat daripada kulit haiwan (kecuali kulit babi dan anjing) yang telah disamak boleh digunakan.Menyambung rambut palsu bukan bermaksud menocang rambut sendiri adalah haram perbuatan itu.Wanita Islam yang sudah akhil baligh wajib baginya mengenakan tudung bagi menutup rambutnya dan kepalanya.Semua umat Islam samada lelaki ataupun wanita wajib baginya untuk menutupkan aurat nya seperti yang telah diperintahkan oleh Allah.Islam juga melarang akan penganutnya untuk mencabut,memotong,mencukur bulu alis mata atau keningnya,kerana perbuatan itu adalah haram serta mengubah hak ciptaan Allah Taala.
Membersihkan kulit haiwan dan manfaatnya[sunting]
Membasuh Kulit Selepas Menyamak
Menurut pendapat yang ashah, ketika menyamak kulit binatang tidak wajib dibasuh dengan air. Oleh itu, sunat sahaja ketika menyamak kulit itu disertai dengan air. Dalam hal ini apabila kulit berkenaan selesai disamak maka harus ia diperjualbelikan, walaupun ia tidak dibersihkan dengan air.
Akan tetapi dalam masalah menggunakannya untuk kepentingan ibadat sembahyang, seperti dibuat pakaian untuk menutup aurat dan seumpamanya, ataupun untuk kegunaan menyimpan barang yang basuh seperti air dan seumpamanya, tidak harus menggunakan kulit yang telah siap disamak bagi tujuan-tujuan tersebut (untuk dibawa sembahyang dan menyimpan benda yang basah) melainkan setelah dicuci dengan air, walaupun ia disamak dengan bahan yang suci, apatah lagi jika kulit itu disamak dengan menggunakan bahan penyamak yang najis, kerana kulit yang telah disamak itu diumpamakan seperti pakaian yang terkena najis.
Adapun jika dibersihkan najis itu dengan air sebelum kulit itu disamak adalah tidak memadai. Sebagai contoh, jika kulit yang belum disamak itu terkena najis mughallazhah lalu disucikan dengan air sebanyak tujuh kali dimana salah satunya bercampur tanah, maka tidak diterima thaharah (penyucian) itu. (Nihayah al-Muhtaj, Kitab ath-Thaharah, Bab an-Najasah Wa Izalatuha : 1/251 , Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, Kitab al-Haid, Bab Thaharah Julud al-Maitah, Mughni al-Muntaj, Kitab ath-Thaharah, Bab an-Najasah).
Kesimpulannyaa, sungguhpun kulit yang sudah disamak dianggap suci dari segi di mana sebelumnya ia dianggap sebagai bangkai, akan tetapi ia belum boleh dimanfaatkan (kecuali dalam masalah jual beli) melainkan setelah dibersihkan terlebih dahulu dengan air setelah kulit berkenaan siap disamak. Adapun pembersihan kulit dengan menggunakan air sebelum atau semasa kulit disamak adalah tidak memadai.
Penggunaan Kulit Binatang
Penggunaan kulit binatang yang telah disamak adalah diharuskan dalam Islam sama ada dijadikan kasut, pakaian atau sebagainya. Walaubagaimanapun perlu diingat bahawa kulit anjing dan babi adalah tidak harus dimanfaatkan walaupun sesudah disamak.
Seperti yang sudah dimaklumi bahawa anjing dan babi itu keduanya adalah najis mughallazah (najis berat). Selain ditegah memakan daging babi dan anjing, ditegah juga memanfaatkan segala anggota binatang itu seperti kulit, bulu dan sebagainya, kerana babi dan anjing itu sendiri adalah najis al-‘ain.)
Sesuatu yang basah atau cecair yang datang daripada najis anjing, dan babi, seperti tahi, kencing, air liur, peluh dan darah adalah najis. Begitu juga sesuatu yang kering daripadanya seperti bulu dan kulit apabila disentuh dalam keadaan basah juga adalah najis. Cara menyucikan daripada najis ini, hendaklah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali. Salah satu daripadanya air yang bercampur tanah. (Mughni al-Muhtaj, Kitab ath-Thaharah, Bab an Najasah : 1/118).
Ada juga sebahagian ulama seperti al-Awza’ie dan ulama yang sependapat dengan beliau mengatakan bahawa binatang buas seperti harimau, serigala dan sebagainya, adalah ditegah menggunakannnya. Mereka berhujah dengan hadis daripada Usamah yang maksudnya :
“Bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam melarang daripada menggunakan kulit-kulit binatang buas. “(Hadis riwayat Abu Daud).
Dalam riwayat yang lain, daripada Usamah yang maksudnya :
“Sesungguhnya Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam melarang daripada menggunakan kulit-kulit binatang buas untuk dihamparkan sebagai alas.” (Hadis riwayat At-Taarmidzi).
Namun menurut ashab asy-Syafi’e, semua kulit bangkai itu termasuk kulit binatang buas adalah suci setelah disamak, melainkan kulit anjing dan babi. Mereka berhujah dengan beberapa dalil daripada hadis, di antaranya hadis yang diriwayatkan daripada Ibnu ‘Abbas, beliau berkata yang maksudnya :
“Aku pernah mendengar Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Jika kulit disamak maka ia menjadi bersih.” (Hadis riwayat Muslim).
Dalam hadis yang lain, daripada ‘Aisyah Radiallahuanha yang maksudnya :
“Sesungguhnya Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam mengizinkan untuk menggunakan kulit-kulit bangkai jika telah disamak.” (Hadis riwayat An-Nasa’i)
Hadis di atas menunjukkan bahawa kulit bangkai binatang adalah suci setelah disamak. Kulit bangkai di sini adalah umum termasuklah juga kulit binatang buas melainkan apa yang telah disepakati akan larangannya iaitu anjing dan babi.
Adapun hujjah daripada hadis yang dikemukakan oleh Al-Awza’ie sebelum ini boleh dimaksudkan kepada kulit binatang buas yang masih berbulu, kerana pada kebiasaanya kulit binatang buas itu digunakan dalam keadaannya yang masih berbulu. Oleh itu, kulit binatang buas itu tidaklah najis, namun yang dimaksudkan dalam hadis itu ialah bulu yang ada pada kulit tersebut. Ini kerana kulit bangkai yang masih nyata berbulu tidak akan suci walaupun setelah disamak, kerana samak itu tidak akan memberi kesan kepada bulu. (Al-Majmu’, Kitab Ath-Thaharah, Bab al-A’niah : 1/277-278).
Oleh itu, kulit yang telah disamak dan suci, harus digunakan samada untuk dijadikan pakaian, tempat menyimpan barang yang basah atau kering, dijual beli dan boleh dibawa ketika sembahyang. Adapun memakan kulit bangkai yang disamak, menurut qaul qadim dan pendapat yang ashah adalah haram sama ada ia binatang ma’kul (yang boleh dimakan) atau ghair al-ma’kul (tidak boleh dimakan). (Al-Majmu’, kitab ath-Thaharah, Bab al-A’niah : 1/287).
Memandangkan kepentingan penggunaan barangan yang diperbuat daripada kulit di mana setengahnya dianggap sebagai keperluan seharian, tidak hairanlah ia menjadi sumber ekonomi bagi sesetengah pihak. Banyak barang-barang yang diperbuat daripada kulit yang boleh kita lihat di pasaran seperti kasut, beg, dompet, baju, tali pinggang dan sebagainya dengan pelbagai jenama dan kualiti yang berbeza-beza. Sudah tentu juga ia diperbuat daripada kulit binatang yang berbeza. Malahan terdapat sesetengahnya diperbuat daripada kulit yang najis iaitu kulit anjing dan babi.
Oleh itu, setiap umat Islam perlu berhati-hati dalam meilih keperluan masing-masing. Pastikan pilihan kita bukan daripada kulit yang najis itu.
- 1. Tujuan menyamak ialah untuk menyucikan kulit yang najis (bangkai).
- 2. Hukum menyamak kulit adalah harus.
- 3. Menyamak tidak tertentu kepada orang Islam sahaja bahkan orang kafir pun boleh menyamak asalkan ia mengikut cara yang dilakukan oleh orang Islam.
- 4. Hubungan menyamak kulit dengan kehidupan manusia:
Untuk menambahkan ekonomi bagi mereka yang melakukannya. Untuk mengelakkan daripada pembaziran.
- 5. Hanya kulit sahaja yang boleh disamak, tidak boleh pada kuku, gigi dan tulang.
- 6. Takrif dan pengenalan bangkai :
Binatang yang halal dimakan yang mati tidak disembelih mengikut cara-cara Islam. Binatang yang haram dimakan yang mati sama ada disembelih atau tidak, tetap ia menjadi bangkai.
- 7. Binatang-binatang yang mati termasuk dalam jumlah bangkai:-
Binatang yang disembelih dengan menggunakan tulang. Binatang yang disembelih oleh orang Majusi (orang yang menyembah api) Sembelihan orang-orang yang berihram (Ihram haji atau umrah)
- 8. Binatang yang tidak suci kulitnya walaupun disamak:
- Babi
- Anjing
- Anak yang dilahirkan daripada perkahwinan di antara anjing dan babi
- Anak yang dilahirkan daripada perkahwinan binatang yang halal dengan anjing atau babi.
- 9. Alat-alat yang digunakan untuk menyamak kulit iaitu sesuatu yang tajam rasanya atau kelat seperti tawas, cuka, asam, limau dan sebagainya.
- 10. Cara menyamak kulit binatang :
Terlebih dahulu hendaklah disiat kulit binatang daripada anggota badan binatang (setelah disembelih). Dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit. Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak seperti asid dan bahan kimia sehingga tertanggal segala lemak-lemak daging dan lendir yang melekat di kulit tadi. Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur.
- 11. Kulit yang disamak itu haram dimakan kerana boleh mendatangkan mudarat pada anggota badan manusia.
- 12. Maksud perkataan suci zahir dan batin pada menyamak kulit binatang:
Suci pada zahir itu ialah ialah sebelah luar tempat tumbuh bulu yang telah dicukur dan kulit itu melekat pada daging. Suci pada batin ialah di sebelah dalam kulit yang bermakna kulit itu dibelah maka bekas belahan itu suci.
- 13. Bulu-bulu binatang yang telah disamak dan terlekat pada kulit kiranya sedikit adalah dimaafkan.
- 14. Hubungan menyamak kulit binatang dengan ilmu-ilmu yang lain:
Pada Ilmu Muamalat kulit yang telah disamak boleh dijualbeli. Pada Ilmu Jinayat kulit yang telah disamak boleh dipotong tangan apabila dicuri. Pada Ilmu Faraid kulit yang telah disamak boleh dipusakakan
- 15. Kesimpulan ialah menyamak kulit binatang adalah bertujuan menyucikan kulit.
( Kitab Matlaal Badrain - Syeikh Daud Fattani )
Langganan:
Postingan (Atom)